Jumat, 10 April 2015

SAJAK PUISI FEBUARI KARYA SLAMET PRIYADI

Aki Slamet

AKU DAN PUISI
By Sita Rose

Saat hati sedang senang aku tulis puisi
Saat pikirku melayang juga kutulis puisi
Saat hatiku sedang susah aku tulis puisi
Saat aku sedang marah juga kutulis puisi

Aku adalah puisi, dan puisi itu adalah aku
Puisi-puisi dan aku adalah dua dalam satu
Aku dan puisi-puisiku telah menjadi satu
Tak ada orang lain yang bisa menggangu

Kp. Pangarakan, Bogor 
Minggu, 15 Feb. 2015 - 17:15 WIB


NEGARAKU, TETAP JAYALAH SELAMANYA!
Karya :  Slamet Priyadi

Awan-awan mendung layang berarak di puncak gunung
Bersayap bulu-bulu hitam kelabu tanda alam berkabung
Derai linangan air mata terus saja netes tak bisa diurung
Sebab orang-orang kecil masih keras menjerit  meraung
Dimangsa buasnya hukum rimba terbelenggu terkurung
Dalam neraka kemelaratan yang terasa semakin kadung

Sementara  hutan-hutan di bukitpun semakin kerontang
Dibalak oleh pemangsa galak ditebang pemangsa garang
Yang tiada henti-henti menyerbu serang malah bersarang
Di balik gumuk belukar, rimbunnya hutan berdaun uang
Bergelimang  kemewahan  bersuka ria bersenang-senang
Berenang di kolam air matanya orang-orang yang malang

Di mana-mana, di sana-sini, di sini-sana semua sama saja
Berlomba-lomba  rebutkan  kursi jabatan  utama penguasa
Demi raih  ambisi kedudukan  jual muka dan etika tak apa
Mendiskredit, ungkit-ungkit kesalahan adalah pilihan cara
Yang penuh  antrak-intrik,  taktis, strategis, etis  berlogika
Jadi ricuh, kacau-balau, awur-ngawur pun gegap-gempita

Demonstrasi  di  sana-sini  adalah  gelombangnya revolusi
Ada yang termotivasi murni, ada pula yang terkomersialisasi
Demonstrasi murni bertujuan suci perlu ditanggapi dan diapresiasi
Demonstrasi yang penuh komersialisasi bertujuan untuk makarisasi
Perlu ditumpas dan dibasmi sebab bikin negeri kacau tak damai lagi
Demi persatuan, kesatuan  bangsa dan Negara Republik Indonesia
Yang berdasar PANCASILA dan UUD 45 Berlambang  GARUDA
Selamatkan Bangsaku, selamatkan Negeriku, selamatkan Negaraku
Republik Indonesia Semoga Tetaplah Jaya Selamanya!

Kp. Pangarakan, Bogor - Minggu, 15 Februari 2015 – 11:11 WIB


PERISTIWA SEPULANG KERJA
By Slamet Priyadi

Saat pulang kerja pada hari Senin, tanggal dua bulan Febuari
Tepat pada pukul lima tiga puluh lima sore jelang petang hari
persis di muka rumahku Kp Pangarakan daerah Bogor Ciawi
Saat Matahari Senja benamkan diri sembunyi di balik Pertiwi
Motor ojek langganan yang biasa aku tumpangi pun berhenti

Kuambil uang limaribuan dari saku baju kemeja seragam biru
Lalu  kuberikan pada ojek langganan yang tersipu malu-malu
Akupun masuklah  ke dalam rumah duduk di bangku bambu
Sambil reguk seteguk kopi hangat yang baru dibuatkan istriku
Aku lepas segala lelah segarkan kepenatan yang mengganggu

Baru sepuluh menit nikmati kopi hangat, aku dengar dan lihat
Di depan rumah orang-orang pada berteriak pating mencelat,
“Aya oray tanah, aya oray kobra, hayu paehan, hayu paehan!”
Aku segera lari lompat ke luar rumah turut ikutan melihat-lihat
Hand phoneku yang ada di lopa ikat pinggang aku pegang kuat

Dalam selokan yang berair keruh ular hitam kencang  menjalar
Terus dikejar dipukuli, dipentungi, digetoki dengan kayu galar
Ular kobra tanah besar tak berdaya sakit menggelepar-gelepar
Menoba bersembunyi di balik batu besar tubuhnya melingkar
Tetapi akhirnya ular itu terkapar kepalanya pecah kemepyar

Kp. Pangarakan, Bogor
Kamis, 05 Februari 2015-21:21 WIB


ORANG GILA MISTERIUS
Karya: Slamet Priyadi

Orang tua gila itu bertubuh kurus dan kumal
Berambut gimbal panjang  dan menggumpal
Berwajah  muram, lusuh, kotor, dan berdaki
Gering berbaring  di emperan toko yang sepi
Depan SPN Lido jalan raya Ciawi-Sukabumi

Sejak  jam tiga pagi  hingga sampai sore hari
Orang tua gila itu tak jua mau beranjak pergi
Tak ada seorangpun yang peduli dan empati
Pada nasib orang tua gila itu yang barang kali
Haus dan lapar sebab belum makan dari pagi

Sementara itu, di  jalan raya Ciawi-Sukabumi
Ratus  kendaraan kampanye Pemilu  legislasi
Membuat  kemacetan  semakin  menjadi-jadi
Di tengah jubelnya  kendaraan  aku  menepi
Menghampiri orang tua gila itu lalu kusalami

Aku  menyapanya  namun dia diam membisu
Hanya  matanya  nanar  mendelik menatapku
Seperti  marah sebab merasa diusik diganggu
Beberapa saat kemudian ia duduk berpangku
Tangan bertopang dagu matanya menatapku

Tak peduli kemacetan suara bising kendaraan
Meski  hati  berdebar  rasa bergidik gemetaran
Aku coba duduk di sisinya menyapa perlahan:
“Bapak, sedari pagi di sini, apa sudah makan?”
Dia  cuma  bisa  gelengkan kepalanya perlahan

Ku ambil bungkus nasi rames dari dalam tasku
Aku  tawarkan  kepadanya,  dia tetap membisu:
“Pak, ini ada nasi rames, silahkan dimakan, pak!”
Orang gila itu tetap geleng-gelengkan kepalanya
Kali ini dia menjawab dengan suara terbata-bata,

“nak, terimakasih atas perhatiannya pada bapak,
terus terang bapak sudah tak butuh makan, nak!”
Mendengar  jawabannya,  aku  benar-benar heran:
“Oya,kalau begitu ini ada sedikit uang untuk bapak,
Mungkin ini akan lebih berguna untuk bapak kelak?”

Aku ambil selembar uang limapuluhribuan dari dompetku
Aku  sodorkan ke tangan kanannya yang kurasakan hanya
Bagai  sentuh  tulang, tak ada  kulit  yang membungkusnya
Tapi lagi-lagi aku heran tak habis pikir dan bertanya-tanya?
Orang  tua  itu  menolak uang  pemberianku seraya berkata:

“Nak, sekali lagi terimakasih! Bapak sudah tak butuh apa-apa
Berikan uang itu untuk keluarga dan itu akan lebih berguna,
dan bapak doakan semoga kelak anak sekeluarga diberikan
rizqi  yang banyak  dari  Tuhan  Yang  Maha  Kuasa!”
“Jika  demikian,  saya mohon maaf,  pak! mungkin
sikap saya tadi kurang sopan dan telah membuat
bapak tersinggung, rumah saya di dekat sini pak,
saya kembali dulu.”

Setelah  berkata  demikian  aku pun segera berlalu
Tapi baru tiga langkah aku berjalan dari tempat itu
salah seorang yang melihatku bertanya kepadaku:
“Maaf, pak! tadi bapak seperti bicara sendirian
Dengan siapakah tadi bapak ngobrol bicara?”
Pertanyaan itu,  membuatku  jadi terheran-heran
Aku menengok ke belakang ke arah tempat bicara
menyapa dan bicara ngobrol dengan orang tua gila
dan,  sungguh di sana memang tak ada siapa-siapa

Aku tak habis pikir, terheran-heran, dan bertanya-tanya
Sebenarnya siapakah dia, dan kemanakah orang tua gila
yang hilang lenyap begitu saja dan pergi entah ke mana?
Dan orang yang bertanya kepadaku geleng-geleng kepala
Hening sejenak, barulah aku sadar, temukan jawabannya
Rupanya  cuma  aku  sendiri yang bisa lihat orang gila itu

Hi hi hi hi, aku jadi tertawa sendiri merasa geli dalam hati
Menyadari  kalau aku sendiri yang menjadi orang gilanya
Sebab  duduk sendiri  dan bicara sendiri di emperan toko
Di tempat keramaian  di  depan  sekolah kepolisian Lido
Itulah peristiwa unik pengalaman misteri yang aku alami
Dengan orang  gila misterius yang masih penuh misteri
Yang ada di emperan toko Indomaret SPN Lido,
jalan raya Ciawi-Sukabumi

Bumi Pangarakan, Bogor
Kamis, 19 Februari 2015 – 3:24 WIB



SEMERAWUT DALAM KEMELUT
Karya Slamet Priyadi

Awan-awan mendung layang berarak di puncak gunung
Bersayap bulu-bulu hitam kelabu tanda alam berkabung
Derai linang air mata terus saja menetes tak bisa diurung
Sebab orang-orang kecil masih keras menjerit  meraung
Dimangsa buasnya hukum rimba terbelenggu terkurung
Dalam neraka kemelaratan yang terasa semakin kadung

Sementara  hutan-hutan di bukitpun semakin kerontang
Dibalak oleh pemangsa galak ditebang pemangsa garang
Yang tak henti-henti  menyerbu serang malah bersarang
Di balik gerumbul gumuk hutan rimbunnya dedaun uang
Bergelimang kemewahan bersuka ria bersenang-senang
Berenang di kolam air matanya orang-orang yang malang

Semerawut kemelut bursa kepemimpinan diayak-goyang
Mengusut-usut benang kusut kesalahan lampau diterawang
Saling dalih-berdalih kebenaran adalah taktik untuk menang
Mengatur  strategi  tarik-ulur laksana bermain layang-layang
Tiada pikir itu membuat  masyarakat dalam suasana gamang
Tertutupkan selimut politik warna putih hitam suram garang

Dalam semerawutnya kemelut yang masih berekor panjang
Masih adakah harapan munculnya cahaya kemintang terang
Yang bisa sinari gelapnya  nasib rakyat kecil bernasib malang
Yang melangkah lemahsebab dua kakinya tak lagi bertulang
Yang cuma mampu bergerak ngesot ronta melalang melang
Menanti tulung-pitulung dari para pembijak para penopang

Kamis, 19 Februari 2015 – 19:35 WIB
Slamet Priyadi
Di Kp. Pangarakan, Bogor  

Jumat, 03 April 2015

"DUA BUAH PUISI KARYA SLAMET PRIYADI"


Image "Ingsun" ( Foto: SP )
Slamet Priyadi

“ I N G S U N ”
Karya Slamet Priyadi

Lima puluh delapan tahun empat sasi ingsun t’lah kembara
Ngelayang  terbang terumbang-ambing di alam marcapada
Terbelenggu tali-temali  panjang kekang lingkaran samsara
Atmapun menerawang lewati lawang-lawang suka bahagia
Telusuri  alam  jiwa  raga  yang  terus saling gelut bergelora
Membara di  awang-awang tak bisa langkahi karang marga
Menuju tempat akhir manusia hidup di syurga atau di neraka 
Ingsun  mesu  diri  renungkan  tentang  syariat, dan makrifat
Hakikat sikap  hidup  di alam mayapada dan di alam akhirat
Yang tiada  ada  kendali keculi “Dia”, Tuhan Sang Maha Zat
Sang Maha  Raja,  Maha  terkuat  dari segala raja yang kuat
Yang  perintah-Nya  haruslah  dilaksanakan  tanpa  bersyarat
Yang  hanya  kepada-Nya  kita  mengharapkan  segala hasrat
Tempat  memohon  minta  segala  keinginan yang menggeliat
Tetapi mengapa  hingga  sekarang  ingsun masih  bersiasat ?
Ingsun masih tak  menyadari  diri ini  bagaikan  seekor lalat
Selalu  saja  mencari-cari  alasan dan belum juga mau tobat
Padahal dosa-dosa  sudah  makin  berwarna hitam berkarat
Bergelimang  nafsu  angkara  murka,  umbar  nafsu maksiat
Bersikap angkuh,  sombong congkak, dan melupakan sholat
Padahal  usia  sudah  semakin tua tak bisa lagi diulang ralat
Satu  demi  satu pun  sahabat  karib  pergi tinggalkan ingsun
Danitu  telah  buat  kropos  bangunan  karib  yang  tersusun
Namun, ada  detak-detak   hati  nurani  mengalun  beruntun
Suarakan  nada-nada  kesucian  religi  yang  terus mengalun
Ajak ingsun  untuk  kembali ke  hijaunya  lembah dan gurun
Berjuang  seberangi  belantara  da’wah  nan  lembut  santun
Jauhkan  angkara  satukan  sifat  kasih  dalam  tubuh ingsun
Jumat, 03 April 2015 – 09:26 WIB
Slamet Priyadi di Pangarakan, Bogor


“EXPRESI MALAM HARI”
Karya Slamet Priyadi

Ketikalampu listrik itu padam di tengah malam
Suasana gulita pun terasa  semakin mencekam
Rupa  Sang  Putri  Dewi  malam nampak muram
Bercadar  selimut  tebal bertabir awan hitam

Tiada  lagi sinar  keemasan di peraduan malam
Semua  yang ada nampak  semakin  menghitam
Sehitam  warna  suasana hati  yang jadi geram
Lihat  segala  tingkah laku manusia kotori alam

Gemericik riak air sungai yang mengalir marah
Sentuh bebatuan terpercik rona merona wajah
Percik air merah menyengat aroma anyir darah
Ayam-ayam  potong  melolong  tak punya wajah

Sementara kelelawar hitam keluar  dari sarang
Kepakkan sayap  terbang  melayang liar garang
Sergap  mangsa sang  laron  nyawapun melayang
Tinggallah sang katak dalam hati yang meradang

Suara  serangga  orong-orong di pohon singkong
Suara anjing liar yang terus saja melolong-lolong
Adalah  tembang nyanyian kloro-loro bolo katong
yang tak pernah sepi dan terus saja merongrong

Bumi Pangarakan, Bogor
Jumat, 03 April 2015 – 23:53 WIB