Jumat, 01 Februari 2013

Syekh Siti Jenar Versi Serat Negara Kertabumi By Slamet Priyadi


Image "Syeh Siti Jenar"  (Foto: SP)

Jumat, 17 Agustus 2012-Denmas Priyadi Blog:  Cerita eksekusi Syeh Siti Jenar versi Serat Negara Kertabumi berbeda dengan versi-versi lain yang biasa kita baca dan saksikan dalam buku-buku maupun film. Hal ini sebagaimana suntingan Rahman Sulendraningrat dalam buku "Siti Jenar-Cikal Bakal Faham Kejawen" tulisan YB. Prabaswara, halaman 32-34:

   
"Seperti juga versi Jawatengahan, sastra Kacirebonan ini menceritakan bahwa para pengikut Syeh Siti Jenar di Cirebon merupakan kelompok oposisi atas kekuatan kasultanan Cirebon. Beberapa tokoh pimpinan kelompok ini pernah mencoba untuk merebut tahta tapi tak pernah berhasil. Ketika Pengging dilumpuhkan, Syeh Siti Jenar yang pada waktu itu menyebarkan ajarannya di sana kembali ke Cirebon dan diikuti oleh para pengikutnya dari Pengging. Di sini, kekuatan Syeh Siti Jenarmenjadi kokoh, pengikutnya meluas dan menyebar sampai ke desa-desa. Setelah Syeh Datuk Kahfi wafat, Sultan Cirebon meminta Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia, tetapi ia tidak mendapat murid karena orang-orang sudah menjadi murid Syeh Siti Jenar termasuk Panglima bala tentara Cirebon, Pangeran Carbon. Dijaga oleh para murid-muridnya sangat setia itu, Syeh Siti Jenar aman tinggal di Cirebon. Berita ini sampai ke telinga Sultan Demak, bahwa musuhnya berada di Cirebon. Sultan Demak lalu mengutus Sunan Kudus disertai 700 prajurit menuju Cirebon.  Sultan Cirebon  menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.

Langkah pertama Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid utama Syeh Siti Jenar  antara lain, Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Adipati Cangkuang, dan beberapa orang istana Pangkuangwati. Selajutnya bala tentara Cirebon dan Demak bergerak menuju Padepokan Syeh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syeh Siti Jenar kemudian ditangkap dan dibawa ke Masjid Agung Cirebon untuk diadili. Di Masjid Cirebon banyak para ulama  telah berkumpul. Sunan Gunung Jati bertindak sebagai hakim ketua. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan bahwa Syeh Siti Jenar bersalah besar, dan pengadilan memutuskan bahwa Syeh Siti Jenar mendapat hukuman mati. Selang beberapa waktu, akhirnya Syekh Siti Jenar dieksekusi mati oleh Sunan Kudus dengan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa ini terjadi pada bulan Safar, tahun 923 H atau 1506 Masehi. 

 Mayat Syeh Siti Jenar lalu dimakamkan di suatu tempat yang tidak diketahui.  Akan tetepi lama kelamaan  orang dapat mengetahui  tempat tersebut. Merekapun terutama para pengikut dan murid-murid Syeh Siti  Jenar,  berdatangan  berziarah ke makam  Syeh Siti Jenar. Para peziarah itu ada yang datang dari Cirebon, Jakarta, Banten, Parahiyangan,  Jawa Timur, dan bahkan dari Semenanjung Malaya. Melihat kenyataan ini Sunan Gunung Jati  memerintahkan kepada segenap kawulanya agar memindahkan secara diam-diam mayat Syeh Siti Jenar ke suatu tempat yang sangat dirahasiakan.  Mayat Syeh Siti Jenar diganti dengan bangkai seekor anjing hitam. Pada waktu para peziarah, terutama pengikut dan murid-murid Syekh Siti Jenar menghendaki agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur. Makampun digali kembali, apa yang terlihat? Ternyata mayat Syekh Siti Jenar tidak ada yang ada hanyalah bangkai seekor anjing hitam. Para peziarahpun sangat terkejut, haran dan tidak mengerti mengapa mayat Syeh Siti Jenar berubah menjadi bangkai seekor anjing hitam. Mereka beranggapan kalau mayat syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing. Menyikapi keadaan seperti ini sultan Cirebon kemudian mengeluarkan instruksi agar para peziarah, dan para pengikut ajaran Syeh Siti  Jenar tidak  menziarahi bangkai seekor anjing dan segera meninggalkan ajaran Syeh Siti Jenar  yang sesat”.

Tanggapan:

Menyikapi tindakan yang dilakukan Sunan Gunung Jati mengganti mayat Syekh Siti Jenar dengan bangkai seekor anjing, jika itu memang benar, malah justru mengangkat derajat Syekh Siti Jenar, dan itu tak ada salahnya. Menurut sebagian sufi, anjing bukanlah khewan nista, najis dan diharamkan bahkan sebaliknya malah dihormati. Hal ini sebagaimana yang dilakukan, “Husain ibnu Manshur Al-Hallaj” seorang tokoh sufi yang menjadi inspirasi lahirnya ajaran Syekh Siti Jenar di Jawa. Beliau adalah seorang tokoh yang sangat menghormati anjing, diceritakan Fariduddin Aththar:

            “Suatu ketika, Sekh Abdullah Turugbadi dari kota Thus menggelar taplak, dan makan roti bersama murid-muridnya ketika Manshur Al-Hallaj tiba dari kota Qasymir  berpakaian qaba’hitam sambil membawa dua ekor anjing hitam yang dirantai. Syekh berkata kepada murid-muridnya, ‘seorang lelaki muda yang berpakaian seperti ini akan segera datang, bangkitlah kalian semua, dan temui, karena dia melakukan hal-hal yang besar.’

            “Merekapun keluar untuk menjumpai lelaki itu yang bukan lain adalah Husain ibnu Manshur Al-hallaj dan segera membawanya masuk. Setelah menghampirinya, Syekh segera mempersilahkan tempat duduk kepada Al-Hallaj sambil membawakan 2 ekor anjingnya untuk ikut makan di dekat mejanya. Tuan Syekh melihat Al-Hallaj makan roti dan memberi makan roti pula kepada anjing-anjingnya itu.  Ketika Al-Hallaj berpamit untuk kembali, tuan Syekh segera beri untuk mengucapkan selamat jalan. Setelah Al-Hallaj pergi, murid-murid tuan Syekh bertanya, ‘Mengapa tuan Syekh membiarkan orang semacam itu, yang makan bersama annjing-anjingnya, duduk di tempat tuan Syekh, seorang pengembara yang kehadirannya membuat seluruh makanan kita tidak suci lagi?” Tuan Syekh menjawab dan memberikan penjelasan kepada murid-muridnya:

            “Anjing-anjing itu sebenarnya lambang keakuan (nafsu), mereka tinggal diluar dirinya, dan berjalan disisinya, sementara anjing-anjing kita masih berada dalam diri kita, dan kita mengikuti di belakangnya.”

            Itulah perbedaan antara seseorang yang mengikuti anjing dan orang yang diikuti anjing. Anjing-anjingnya berada di luar, dan kalian dapat melihat mereka, sementara anjing-anjing kalian tersembunyi berada di dalam hati kalian, dan kalian tak bisa melihatnya. Kedudukan orang itu seribu kali lebih tinggi dari kedudukan kalian. Dia telah berada dalam  tataran ajaran Tuhan, sifat-sifatnya telah menyatu dengan Tuhan, apakah ada seekor anjing atau tidak, dia hanya ingin mengarahkan segala tindakannya itu dengan  apa yang diperintahkan Tuhan.”

            Anjing digambarkan sebagai symbol arakter yang harus dikeluarkan dari diri manusia. Karena menjadi symbol, maka anjing akrab dengan kehidupan para sufi, termasuk Al-Hallaj dan bisa jadi demikian pula dengan Syekh Siti Jenar yang diumpamakan seperti anjing. Dalam kisah di zaman Rasulullah, ada seorang pelacur masuk syurganya Allah karena dia dengan ikhlas menolong seekor anjing yang sedang kehausan. (Referensi: YB.Prabaswara, Siti Jenar Cikal Bakal Kejawen. Penerbit Armedia-Jakarta.)   

Penulis
Slamet Priyadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar