Minggu, 24 Februari 2013

Konsep Pendidikan Progresif John Dewey By Slamet Priyadi

Denmas Priyadi Blog | Minggu, 24 Febuari 2013 | 14:15 WIB


Belajar melalui pengalaman

Dalam konsep pendidikan lama situasi pembelajaran didominasi oleh guru. Siswa lebih bersifat pasif menerima sepenuhnya materi apa saja yang di sampaikan dan diberikan guru. Kurikulum, mutlak direncanakan, disusun dan dibuat oleh pemerintah dan guru atau sekolah tanpa mengikutsertakan siswa.

Berkait dengan hal tersebut berdasarkan studi psikologi dan sosiologi pendikdiian, Masyarakat pendidikan umumnya menghendaki perubahan, dan hendaknya konsep pendidikan terutama dalam pengajaran agar lebih memperhatikan minat, kebutuhan dan kesiapan siswa untuk belajar.

Sehubungan dengat hal tersebut JOHN DEWEY mengemukakan ide dan gagasannya dalam konsep "PENDIDIKAN PROGRESIF" sebagai berikut:


1.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar secara perorangan. (indivudually learning
2.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui pengalaman (learning experiencing)
3. Guru memberi dorongan semangat dan motivasi bukan hanya pemerintah. Artinya bahwa guru memberikan penjelasan tentang arah kegiatan pembelajaran yang merupakan kebutuhan siswa.
4. Guru mengajaksertakan siswa dalam berbagai aktifitas kehidupan belajar di sekolah yang mencakup pengajaran, administrasi, dan bimbingan.
5. guru memberi arahan dan bimbingan sepenuhnya agar siswa menyadari bahwa hidup itu dinamis dan mengalami perubahan yang begitu cepat. 

Berdasarkan fakta dan realitas tersebut sudah seyogyanya sistem pengajaran lama yang bersifat hafalan, verbalistik dan berbagai aktifitas yang mekanistik di kelas tidak diterapkan lagi. Strategi dan metode pembelajaran yang memberi kebebasan siswa dalam melakukan penelitian dan menemukan sesuatu hal utamanya diberikan kepada siswa, berlebih dalam berbagai aktifitas ekstrakurikuler.

Penulis
Slamet Priyadi di Pangarakan-Bogor

Sabtu, 23 Februari 2013

Upaya Meningkatkan Prestasi Akademik Siswa SMAN 42 by Slamet Priyadi



Denmas Priyadi Blog | Minggu, 24 Febuari 2013 | 05:55 WIB
Penghargaan bua siswa berprestasi
Dalam berbagai kesempatan saat saya dan teman-teman santai minum kopi di kantin samping Rumah Sakit Halim, saya acapkali berbincang-bincang tentang berbagai hal. Sekali waktu kami bahas juga tentang prestasi akademik siswa SMA Negeri 42 yang masih  tertinggal dengan sekolah lain seperti SMAN 48, SMAN 81 dan yang lain. Dalam kesempatan diskusi tersebut saya lontarkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah sekolah memiliki pengaruh besar terhadap prestasi belajar siswa?”, “Mengapa sampai sekarang prestasi akademik siswa SMA Negeri 42 masih  tertinggal dengan sekolah lain yang notabene lebih muda usianya dibanding SMA Negeri 42?”. Pertanyaan tersebut cukup menggelitik dan membuat berkerut kening teman-teman karena jawabannya memang butuh  analisa secara pedagogis serta pemikiran   yang  referensional (berdasar keilmuan).

Jawaban klise terucap: “Ya tentu, dong! Soalnya perekrutan siswa kelas X pada awalnya memang sudah bukan siswa-siswa yang pilihan, dalam arti siswa-siswa yang masuk mendaftar ke SMAN 42 bukan pilihan pertama akan tetapi yang ke dua yang secara intelktual relative rendah”.  Dengan Input dan kualitas siswa yang demikian tentu saja wajar apabila outputnya juga rendah.

Jawaban tersebut memang ada benarnya akan tetapi, itu justru menggambarkan kegagalan kita sebagai guru dan sekolah, komponen sekolah beserta fasilitas dan sarana sekolah sebagai institusi pendidikan yang selama ini tempat kita mengabdi, dan bekerja selaku tenaga pendidik. Jelasnya jawaban tersebut seakan-akan menunjukkan kepada kita bahwa SMAN 42 selaku institusi pendidikan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap performa akademik siswa.

Apabila kita perumpamakan dengan sebuah industri yang memproduksi barang tertentu, jika kualitas bahan bakunya rendah tentu hasil produksinya juga rendah. Dengan demikian di sini jalannya proses produksi menjadi tidak berarti dan mubazir. Padahal prinsip ekonomi mengatakan, “Mendapatkan untung sebesar-besarnya dengan capital yang sekecil-kecilnya”. Mengacu pada prinsip ekonomi tersebut, seharusnya langkah yang dilakukan adalah bagaimana caranya memaksimalkan suatu produksi dengan modal yang kecil dan bahan baku yang murah, dapat menghasilkan produksi yang baik dan berkualitas sehingga bisa dijual dengan harga mahal.

Pandangan yang menyatakan penyebab rendahnya kualitas siswa (prestasi akademik siswa) karena “input” yang rendah, saya pikir tidak tepat karena itu berarti proses pembelajaran (schooling) yang dilakukan oleh SMAN 42 sama sekali tidak berarti karena tidak memberikan nilai tambah pada diri siswa. Kalaupun ada siswa yang berprestasi menggembirakan, semata-mata itu karena kemampuan dirinya yang memang sudah ada sebelumnya hasil dari didikan dan binaan orang tua atau pada sekolah sebelumnya.
  
Pandangan tersebut di atas seyogyannya tidak dijadikan pegangan untuk langkah ke depan. Untuk itu mulai dari sekarang kita para guru dan seluruh komponen sekolah harus bersatu tekad  untuk memajukan dan meningkatkan prestasi akademik siswa SMAN 42 dengan bekerja keras, aktif inovatif, kreatif, efektif dan selalu tampil dalam suasana yang menyenangkan sehingga siswa di kelas dapat menerima pelajaran tanpa harus takut dan tegang. Berkait dengan hal tersebut beberapa hasil penelitian tentang sekolah yang efektif (effectiveness school) membuktikan bahwa tingkat kecerdasan atau prestasi belajar siswa  sangat ditentukan oleh lingkungan belajar (learning environment) siswa di sekolah. Oleh karena itu utamanya adalah bagaimana kita menciptakan suasana yang kondusif yaitu suasana  pembelajaran yang  aktif, apresiatif, kreatif, efektif dan menyenangkan agar setiap siswa mampu mengembangkan dirinya secara optimal. Semakin kondusif dan efektif lingkungan belajar sekolah maka semakin besar pula kesempatan siswa untuk meningkat prestasinya.

Dengan demikian, utamanya kita tidak lagi berdalih mempermasalahkan kualitas input yang diterima sekolah, akan tetapi bagaimana kita memfokuskan pada strategi, model, dan metode-metode apa yang efektif untuk meningkatkan kemampuan dan pretasi akademik siswa. Kualitas input yang rendah lebih baik kita jadikan sebagai pemicu semangat dalam rangka untuk membuktikan kepada masyarakat, bangsa dan Negara bahwa lembaga pendidikan khususnya SMA Negeri 42 mampu memberikan nilai tambah (value added) bagi siswa semua. JAYALAH, JAYALAH  SMA Negeri. 

Referensi
Pembelajaran yang efektif-Jamaludin, M.Ed

Penulis
Slamet Priyadi di Pangarakan-Bogor  


Mengajar Harus Dengan Persiapan Matang by Slamet Priyadi



DENMAS PRIYADI BLOG | MINGGU, 24 FEBUARI 2013 | 02:18 WIB
Gelar Musik Kelas
SUATU ketika saya mengajar tanpa persiapan yang di kelas. Saya sampaikan materi pelajaran kepada siswa di kelas berdasar apa yang ada dalam ingatan saja.  Saya merasa proses pembelajaran menjadi tersendat tidak berjalan lancar, materi pokok bahasan menjadi tidak teratur, terlalu verbalistik, dan membosankan. Hal tersebut bisa saya lihat dari sikap siswa yang apatis, ada yang mengobrol, bercanda, izin buang air kecil, dan lain sebagainya.  Menyikapi situasi seperti ini maka saya putuskan untuk tidak melanjutkan proses pembelajaran, saya sampaikan kepada siswa:

“Baik anak-anak! Hari ini bapak merasa tidak enak badan, jadi tidak siap untuk melanjutkan materi pelajaran, akan tetapi kalian harus menyelesaikan tugas-tugas yang belum diselesaikan atau memperbaiki nilai-nilai yang masih belum tuntas.”

“Ya, pak! Baik, pak! Kami melihat memang bapak sepertinya tidak siap menyampaikan materi pelajaran, penyajian materi banyak yang kami tidak mengerti karena tidak jelas apa yang bapak maksudkan!” Demikianlah jawaban siswa,  secara serempak mereka menjawab.

“Baik! Terimakasih atas kritik kalian, bapak menyadari memang seperti itulah adanya, dan selanjutnya itu tidak akan terjadi lagi. Selanjutnya selesaikanlah tugas-tugas kalian yang nilainya masih belum tuntas!”  
Nah! Itu hanya sebuah pengalaman dari saya, dimana saya tidak mempersiapkan materi pembelajaran dengan matang, dan semata-mata hanya mengandalkan daya ingat dan pengalaman mengajar saja.
Dari pengalaman tersebut di atas ada pelajaran yang bisa saya peroleh, yaitu :

1.      Mengajar harus dengan persiapan yang matang baik  persiapan kognitif, afektif dan psikomotorik.
2.  Mengajar harus terencana, terstruktur, interaktif, inovatif, dan efektif. Terutama dalam intonasi, dan artikulasi. Ucapan vocal harus keras dan jelas.
3.      Mengajar harus disajikan melalui pendekatan psikologis, individual dan social
4.      Mengajar harus dengan strategi, metode, dan alat bantu (media) pembelajaran
5.      Mengajar harus ada evaluasi baik evaluasi kepada siswa maupun kepada diri sendiri sebagai guru. Hal ini dilakukan sebagai koreksi ke dalam. Sampai sejauh manakah materi pembelajaran bisa ditangkap siswa, dan sampai sejauh mana pengembangan serta peningkatan kemampuan guru dalam mengajar.

Penulis
Slamet Priyadi di Pangarakan-Bogor

Sabtu, 16 Februari 2013

Pendidikan Anak Usia Dini by Slamet Priyadi

Denmas Priyadi Blog│Minggu, 17 Febuari 2013│07:20 WIB
Orang tua yang gemar membaca akan dicontoh anak
ACAP KALI orang tua tak menyadari kesalahannya, kalau dalam mendidik anak pada usia dini (0 sampai 6 tahun) adalah salah. Kesalahan tersebut pada umumnya adalah pada cara membimbing dan  mengasuh anak yang hanya dengan bicara dan perintah saja, bukan dengan sikap dan prilaku serta contoh teladan yang baik.

Sebagaimana kita ketahui anak pada usia 0 sampai 6 tahun merupakan masa di mana tingkat daya serap dalam merespon apa yang dilihat dan didengarnya adalah mencapai 70-80 persen. Artinya, pada masa periode ini akan lebih efektif jika orang tua dalam membimbing dan mengasuh serta mendidik anaknya adalah dengan cara memberi contoh teladan serta sikap yang baik, bukan hanya sekedar bicara dan perintah-perintah yang terkadang sukar dilakukan oleh anak dalam usia dini ini.

Jadi utamanya orang tua, terutama sang ibu jangan sampai merusak perkembangan kecerdasan dan mental anak hanya karena kesalahan prilaku dan sikap yang mungkin tidak disadarinya.  Jika anak melihat perbuatan orang tuanya, ibu-bapaknya sedang membaca buku, sholat, dan bertutur kata yang baik, maka itu akan selalu diingat dan dicontohnya bahkan dipraktikkannyadalam aktifitas hidupnya sehari-hari. Begitupun sebaliknya, apabila orang tua, ibu dan bapaknya sering bertengkar dengan mengucapkan kata yang kasar dan tidak pantas, maka semua itu akan terserap dalam memorinya yang kemudian anak pun akan berprilaku dan berkata-kata seperti apa yang ada dalam ingatannya dan pernah disaksikannya itu.

Nah, bagi para orang tua yang mengasihi anak-anaknya tentu akan selalu memperhatikan perkembangan kecerdasan dan mental serta pertumbuhan fisik anak pada usia dini. Oleh karena itu berikanlah kasih sayang serta perhatian yang penuh dalam mendidik, mengasuh, membimbing anak dengan cara selain dengan kata-kata yang lemah lembut, juga utamanya adalah dengan memberikan contoh suri tauladan serta sikap dan prilaku yang baik. Dengan harapan semuanya itu akan tersimpan dalam diri anak jiwa yang bersih hingga mencapai  usia dewasa. Karena  manusia terbaik adalah manusia yang berbudi pekerti luhur. Seandainya hal tersebut tetap tercermin dan terpantul dalam prilaku hidup manusia dalam keseharianya, mungkin korupsi tak akan merebak seperti sekarang ini.

Penulis
Slamet Priyadi di Pangarakan - Bogor

Selasa, 12 Februari 2013

Analisa Lakon Dewa Ruci



Penulis: Slamet Priyadi│Denmas Priyadi Blog│Selasa,12 Febuari 2013│21:10 WIB


Dewa Ruci
LAKON Dewa Ruci dalam kisah pewayangan merupakan salah satu cerita karangan para pujangga Islam yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Dalam buku, De Heiligen van Java, halaman 150 yang ditulis oleh Dr. D.A. Rinkes, dinyatakan  bahwa, “Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang baru, dan menyelenggarakan pertunjukan-pertunjukan wayang dengan upah baginya sebagai dalang berupa Kalimat Syahadat. 

Berkait dengan hal tersebut di atas, Prof. Adnan dalam kata sambutannya pada acara penyerahan rumah-rumah bagi para dosen IAIN Demangan, Yogyakarta pada tanggal 14 Juli 1962 menyatakan :  
“Masyarakat kita bangsa Indonesia (Jawa) masih gemar sekali kesenian wayang, mulai zaman dahulu hingga sekarang, baik di desa maupun dikota. Oleh karena itu Wali Sanga memperhatikan hal tersebut untuk keperluan memasukkan da’wah Islamiyah”.
  
Dalam lakon Dewa Ruci yang religius itu dikisahkan, upaya dan tekad keras Bima atau Arya Sena yang ingin mendapatkan air suci kehidupan, “Tirta Perwita Sari.”  Berbagai macam percobaan dan tantangan serta godaan yang sangat berat dihadapi Bima, akan tetapi Bima pada akhirnya mampu mengatasinya dan Bima berhasil menemukan dan mendapatkan  air suci Tirta Perwita Sari yang berujud Dewa Ruci yang bukan lain adalah dirinya sendiri.  Lakon Dewa Ruci mengandung makna filsafat tentang tasauf Islam yang sangat mendalam oleh karena menggambarkan seorang kesatriya dengan kemauan spiritualitas yang keras untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya agar bisa membawa manusia kepada kebahagiaan yang kekal dan abadi di Syurga.

Siapakah Dewa Ruci sebenarnya?  Dewa Ruci berarti Dewa yang halus dan lembut, adalah dewa dari Bima atau Arya Sena yang merupakan perwujudan dari pribadinya sendiri yang sesungguhnya.  Dikisahkan ketika Bima berguru kepada guru Dorna tentang ilmu kemanusian dan belajar tentang kesempurnaan hidup sejati ketika bertemu dengan Dewa Ruci. Ia diperintahkan agar masuk ke raganya, akan tetapi Bima berkata:

“Apakah cukup jika aku masuk ke dalam raga kamu yang begitu kecil?”
“Ha ha ha… jangankan hanya sebesar badanmu, dunia dan segala macam isinya ini dapat masuk ke dalam ragaku!” demikian jawab Dewa Ruci sambil tertawa terbahak-bahak. Ini sebagai gambaran atau symbol bahwa kejiwaan manusia lebih luas dari dunia seisinya.

Dalam bentuk wujudnya Dewa Ruci digambarkan bermata bulat, hidung dempak, berambut gimbal terkembang, berkuku “Panco Noko”, berkain kotak-kotak segi empat, dan bersepatu ciri seorang dewa. Bentuk tubuh dan raut muka sama persis dengan Bima hanya lebih kecil. 

Sudah kita ketahui bahwa cerita wayang tentang Dewa Ruci adalah karangan pujangga Islam penyebar agama Islam di Jawa era pemerintahan kerajaan Islam Demak, oleh karena itu analisa cerita wayang Dewa Ruci berkait erat dengan ajaran Islam.  Analisa berikut adalah saya kutip dari buku “Unsur Islam Dalam Pewayangan” karangan Drs. H. Effendi Zarkasi dari pendapat Ki Siswo harsoyo dalam buku “Guna Cara Agama.”  Berikut adalah kutipannya:

1.    Di dalam cerita Dewa Ruci, Bima atau Arya Sena berguru kepada Guru Dorna yaitu orang yang dianggap bisa memberi petunjuk yang  benar, berilmu tinggi secara spiritual. Memiliki ilmu tinggi baik keduniawian maupun kerokhanianya, orang yang alim.
  
Analisa :
Bagi orang yang ingin mendalami agama (arti tauhid), dia harus berguru kepada  orang yang dianggap alim (berilmu dan berakhlak baik) minta petunjuk jalan (thariq).  Jelasnya meminta wejangan tentang ilmu thariqat.  Meskipun seorang guru terkadang ada juga yang menyesatkan, akan tetapi karena Bima berpendapat kuat bahwa guru adalah sosok yang jujur, berilmu, beriman dan berakhlak baik, maka apa yang dikatakan gurunya selalu dipatuhinya, sebagaimana kata ulama yang berbunyi demikian: 
“Tangan (kekuasaan) Allah itu mengendalikan mulut cendikiawan, tidak akan dia mengucap, kecuali hanya kebenaran dari Allah”.  (Al Ghazali, Ihyaa ‘Ulumuddin, Jilid III halaman 26.)

2.    Setelah bertemu dengan guru Dorna, Bima mengutarakan keinginannya untuk mencari Tirta Perwita Sari, air suci untuk  kesucian hidup manusia.  Oleh gurunya Bima disarankan agar membongkar gunung Reksamuka.

Analisa :
Orang yang akan berguru ilmu thariqat tidak akan bisa diterima sebelum terlebih dahulu melepaskan segala keinginan dan nafsu keduniawian dari dirinya, hatinya harus dibersihkan terlebih dahulu. Ini memang sesuatu yang sangat berat untuk dijalani seperti beratnya membongkar gunung.  Memang untuk sampai ke ilmu thariqat itu harus melalui jalan terjal, berliku-liku, bermacam-macam godaan dan tantangan yang penuh dengan kesukaran-kesukaran.(Reksamuka = rumeksa ing gelar, benteng hidup keduniawian).  Pekerjaan ini memang berat, sebab  dia harus  menjauhi keduniawian yang menjadi hiasan manusia.  Sebagaimana Firman Tuhan :

“Telah dihiasi manusia dengan kesukaan-kesukaan kepada barang yang diingini, yaitu wanita-wanita dan anak-anak, (perhiasan) emas dan perak yang bertumpuk-tumpuk, kuda (kendaraan) yang bagus, binatang ternak, sawah lading, yang demikian itu perhiasan di dunia, tetapi di sisi Allah ada tempat kembali yang baik”. (Al-Qur’an, S. Ali Imran: 14)
3.        Bima mematuhi petunjuk gurunya, lalu pergi untuk membongkar gunung Reksamuka.

Analisa : 
Setelah orang yang berguru telah diberi petunjuk, harus taat dan patuh untuk menjalani dan mengerjakannya dengan penuh keikhlasan betapapun berat dan sukar, meskipun harus meninggalkan keduniaan yang dicintainya.

4.    Setibanya di gunung Reksamuka Bima terus mengobrak-abrik, menghancurkan segala makhluk jahat yang ada di gununug tersebut.  Terjadilah pertempuran antara Bima Arya Sena dengan dua makhluk raksasa penghuni gunung Reksamuka yaitu, Rukmuka dan Rukmakala.

Analisa :
Orang yang sedang berusaha mensucikan diri harus mampu memerangi dan mengalahkan segala macam godaan keduniaan.  Raksasa Rukmuka merupakan gambaran pancaindra yang apabila tidak berhati-hati selalu saja membawa manusia kepada kesesatan.  Sedangkan Raksasa Rukmakala adalah gambaran akal budi yang juga sering menyesarkan manusia.  Dia harus mampu mengalahkan godaan hawa nafsu jahat agar dapat mencapai kebahagiaan.  Firman Tuhan mengatakan : 

“Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan orang yang dapat mencegah hawa nafsunya, Syorgalah tempatnya”. (Al-Qur’an, S. An-Naziaat: 40-41)

5.        Dalam pertempuran itu Bima Sena dapat menumpas kedua raksasa Rukmuka dan Rukmakala.

Analisa :
Bahwa bagi orang yang telah mampu menundukkan dan mengendalikan hawa nafsunya maka akan selamatlah dia, sebagaimana Firman Tuhan :

“Dan Allah selamatkan mereka yang berbakti dengan sebab terluput mereka (yakni tidak disentuh oleh kejelekan), dan tidaklah mereka akan duka cita”. (Al-Qur’an, S. Azzumar: 61)

Referensi :
Unsur Islam Dalam Pewayangan, Drs. H. Effendi Zarkasi

Penulis:
Slamet Priyadi di Pangarakan-Bogor