Denmas Priyadi Blog│Kamis, 14 Maret 2013│09:58 WIB
Ujian Praktik Vokal Kelas XII |
SEJAK KECIL kita sering
mengalami peristiwa musik. Ketika
kita masih di
SD, SMP, dan
bahkan sampai sekarang di SMA Negeri 42, setiap dua pekan sekali di hari Senin,
dan tiap tahun terutama pada tanggal 17 Agustus pada saat upacara bendera,
seluruh siswa dan guru beserta karyawan
secara serempak bersama-sama menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.
Semua bangsa dan setiap Negara di
dunia masing-masing pasti memiliki lagu kebangsaan. Lagu Indonesia Raya merupakan lagu kebangsaan bangsa Indonesia adalah
salah satu karya cipta musik, musik adalah bagian dari kebudayaan manusia yang
paling tua dalam peradaban manusia.
Ada lagu atau karya musik yang
dikenal penciptanya dan ada pula komposisi musik dan lagu yang tidak dikenal siapa
penciptanya. Bentuk ciptaan musik atau lagu yang tidak diketahui siapa nama
penciptanya disebut anonym. Bentuk
ciptaan musik dan lagu yang tidak diketahui penciptanya biasanya terdapat pada
lagu-lagu dan musik tradisional daerah yang secara turun temurun berkembang dan
dinyanyikan oleh rakyat daerah tersebut.
Nah, sekarang siapakah nama pencipta
lagu Indonesia Raya? Pasti kamu sudah
mengetahuinya, bukan? Ya, dia adalah Wage
Rudolf Supratman. Wage Rudolf Supratman mencipta lagu Indonesia Raya ini
dengan menggunakan susunan nada diatonic. Kata diatonic berasal dari bahasa latin, diatonicus yang bermakna susunan nada-nada berjumlah tujuh jenis
bunyi nada yaitu, do, re, mi, fa, so, la,
si.
Secara historis bahasa Latin adalah
salah satu bahasa Eropa yang terbukti sudah cukup tua. Orang Eropa memperlakukan bahasa Latin sama
seperti orang Indonesia memperlakukan bahasa Sansekerta. Oleh karena kata diatonic berasal dari Eropa,
sudah barang tentu aturan nada-nada diatonic ini juga berasal dari Eropa. Akan tetapi sebelum kita mengenal nada diatonic, nenek moyang kita terlebih
dahulu sudah mengenal aturan nada yang terdiri dari lima jenis bunyi nada. Sebut saja nada pentatonic, yang juga berasal dari bahasa latin, pentetonicus.
Siapakah orang pertama yang menemukan
aturan nada diatonic? Bukan lain adalah
seorang pastor Katolik dari mazhab Benediktus bernama “Guido
Aretenius d’Arezzo”. Dia juga berprofesi sebagai guru. Guido Aretenus d’Arezzo dilahirkan di Prancis
abad ke Sembilan dan menetap di Italia
sampai akhir hayatnya.
Boleh dikatakan jasa Guido dalam
menemukan aturan nada diatonic ini sangat besar dalam perkembangan musik dunia,
dan orang biasa menyebut aturan nada diatonic ini berasal dari namanya yaitu aturan
Guidonis atau skala Guidonis.
Susunan nada diatonic seruan nadanya
berasal dari deretan kata-kata pujaan kepada Sancta Loannis, murid termuda
Yesus Kristus yang berisi permohonan kepadanya, agar suara para penyanyi yang
menembangkan lagu-lagu pujian kepada
Tuhan selalu tetap bagus dan merdu.
Adapun susunan kata-kata pujaan
tersebut adalah sebagai berikut,
UT QUEANT LAXIS
RENONARE FIBRIS
MIRA QUESTORUM
FAMULI TUORUM
SOLVE POLLUTI
LABII REATURN
SANCTA LOANNIS
Nah, apabila kita baca dari atas
deretan awal kata-kata di atas maka akan berbunyi Ut, re, mi, fa, sol, la, si. Bunyi nada si adalah singkatan huruf
besar Sancta dan Loannis. Timbul pertanyaan, kemudian dari manakah asal kata
bunyi nada do yang biasa kita
suarakan dalam tangga nada karena seharusnya dinyanyikan dengan bunyi Ut? Ya, benar sekali! Nada Do yang kita pakai
sekarang adalah baru, diambil dari kata Dominus
(Tuhan), sebagai pengganti Ut
sehungga susunan ke tujuh nada-nada tersebut kita nyanyikan dengan nama Do, re,
mi, fa, sol, la, si.
Dengan susunan tujuh nada sebagaimana tersebut di
atas maka terciptalah berjuta-juta bentuk ciptaan musik dan lagu sebagaimana
yang sudah kita nikmati bersama dengan apresiasi dan kreasi yang berbeda-beda.
Referensi:
Analisis Musik Indonesia/Amir
Pasaribu, Menuju Apresiasi Musik/Remy Silado
Penulis:
Slamet Priyadi di Pangarakan - Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar