Slamet Priyadi : “inilah Karyaku”-
Sabtu, 28 Desember 2013 15:52 WIB
Si Burung Merak, W.S Rendra |
W.S Rendra yang nama
kepanjangannya, Willibrordus Surendra Broto Rendra, turun dari alam kelanggengan, melayang, melanglang ke marcapada, 7 November 1935. Mengembara ke dunia sastra di alam mayapada, merayap, merangkak
bergelut, berjuang melalui karya-karyanya dengan tak kenal lelah dan putus asa.
Di era pemerintahan
Soeharto yang militeristik dan anti kritik, acap kali beliau dilarang untuk
pentas kebudayaan karena W.S Rendra secara terbuka mengkritik Soeharto dengan program-program pembangunannya yang
cenderung berpihak kepada para konglomerat pemilik perusahaan multi nasional, mengucikan
masyarakat adat dan cenderung berpihak pada para kongloerat pemilik perusahaan
multi nasional.
Meski berbagai rintangan
dan cobaan terus menghadang, dijegal, ditahan, dan dipenjarakan, beliau tak
pernah merasa gentar, terus menulis, terus berkarya, terus berjuang dengan pena
saktinya itu, sampai akhirnya Tuhan Sang Maha Penguasa, Pencipta alam semesta
dengan segala isinya memanggilnya untuk kembali keharibaan-Nya. Ia kembali ke
alam kelanggengan yang memang sudah dirindukannya itu pada 6 Agustus 2009 di Depok, Jawa
Barat dengan usia 73
tahun karena menderita sakit.
Sang Burung Merak, W.S Rendra dikenal
sebagai seorang dramawan, penyair, aktivis, pemain,
aktor dan sutradara yang namanya begitu sangat dikenal
baik di dalam maupun di mancanegara. Karya-karyanya merupakan potret kehidupan
dengan segala romantikanya, linkungan alam, keadaan politik yang penuh dengan
intrik-intrik, lingkungan keluarga, sosial, dan lain-lain. Pendek kata, tak ada
satu peristiwa pun yang luput dari pena emas W.S Rendra, si Burung Merak ini. Dalam
karya-karyanya, semua terungkap secara jelas, gamblang, dan terang-benderang. Berikut adalah beberapa contoh sajak-sajak
karya W.S Rendra yang saya kutip dari
situs kumpulan-puisi.com. Sobat, selamat membaca dan menikmati sajak-sajak karya
Sang Maestro Si Burung Merak W.S Rendra!
Aku
Tulis Pamplet Ini
Pengarang: W.S Rendra
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
Pengarang: W.S Rendra
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
Bahwa Kita Ditatang Seratus Dewa
Pengarang: W.S Rendra Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu Sementara engkau kenangkan encokmu kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang Dan juga masa depan kita yang hampir rampung dan dengan lega akan kita lunaskan. Kita tidaklah sendiri dan terasing dengan nasib kita Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan. Suka duka kita bukanlah istimewa kerana setiap orang mengalaminya Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah untuk mengolah hidup bekerja membalik tanah memasuki rahsia langit dan samodra serta mencipta dan mengukir dunia. Kita menyandang tugas, kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau neraka. tetapi demi kehormatan seorang manusia. kerana sesungguhnya kita bukanlah debu meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu. Kita adalah kepribadian dan harga kita adalah kehormatan kita. Tolehlah lagi ke belakang ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya. Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna. Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita. sembilan puluh tahun yang selalu bangkit melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda. Dan kenangkanlah pula bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita. Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan. Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma. Kita menjadi goyah dan bongkok kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan. Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu Sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula bahwa hidup kita ditatang seratus dewa. W.S Rendra 1972
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar