Minggu, 29 Desember 2013

Sajak Tentang Seekor Kupu-Kupu Kecil



Denmas Priyadi: "Inilah Karyaku" - senin, 30 Desember 2013 01:43 WIB




Wayang asaemar
Wayang Semar
Sajak Seekor Kupu-Kupu Kecil
Karya: Slamet Priyadi

Ada seekor kupu-kupu kecil mungil
Terbang melayang berputar-putar, lalu hinggap di wayang Semar
Yang hiasi dinding ruang tamu rumahku yang tak begitu besar
Aku sama sekali tak peduli dengan kupu-kupu kecil itu
Sebab sedang asyik saksikan pertandingan sepak bola
Antara tim Persija Indonesia melawan PDRM Malaysia
Yang pada akhirnya dimenangkan tim Persija dengan score satu-dua

Saat aku makan kue Bugis, dan reguk seteguk air kopi manis
‘tuk hangatkan badan  dalam cuaca malam yang semakin dingin menggrigis
Kupu-kupu kecil itu terbang berputar-putar sebentar di atas kepalaku
lalu hinggap lagi di wayang Semar, dan matanya menatap kearahku

Aku mulai peduli dan bertanya-tanya dalam hati
Kenapa kupu-kupu kecil itu hinggap dua kali di wayang Semar
Setelah terbang berputar-putar di atas kepalaku tadi?
Seakan menunjukkan kepadaku tentang apa, dan siapa tokoh Semar

Menyadari semua itu, aku segera beranjak dari bangku
Menuju dinding tempat wayang Semar yang bersanding dengan foto diriku
Lalu aku mengambilnya, sementara kupu-kupu kecil itu keluar berlalu
Aku tatap wajah wayang Semar yang nampak lugu dan lucu
Wajah Semar yang berwarna putih dan badan Semar yang berwarna hitam
Dua warna simbol kehidupan dunia di alam marcapada, alam keduniawian
Yang selalu hidup berdampingan, saling mengisi dalam  harmoni keseimbangan
Dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan hewan, dan tumbuh-tumbuhan

Dalam kehidupan manusia, ada akal dan budi
Jika mampu memiliki dan memeliharanya dengan terpuji
Jadikan kita sejatinya manusia, manusia-manusia sejati
Manusia yang penuh mawas diri, tak mengumbar nafsu dan ambisi
yang kata-katanya dapat menjadi penyejuk jiwa
yang perilakunya dapat digugu dan ditiru, satu dalam sikap dan kata

Akan tetapi yang banyak terjadi dan nyata
Akal dan budi berjalan sendiri-sendiri
Akal hanya dijadikan alat kendaraan nafsu angkara murka
Untuk memintari, menipu, membohongi sesama
Hilangkan kehambaannya, lenyapkan kemanusiaannya dan  sirnakan harga diri

Ada  guru mencabuli muridnya, karena tak mampu menahan birahi
banyak ibu membunuh bayinya, karena malu hamil di luar nikah
para penegak hukum sudah kehilangan muka karena menjual almamaternya
para pendawah kehilangan marwahnya karena kitab tak lagi acuannya
para politikus hilang kejuangannya karena ambisinya hanya kedudukan saja
para pejabat menyikat habis uang rakyat, korupsi merajalela Dimana-mana
di setiap lini dan instansi dari hulu hingga ke hilirnya semua nyaris terlibat
Budi tak lagi jadi kendali karena  dibebani beban nafsu yang kiat berkarat
Ketika rasa kantuk itu menyengat mataku
Aku termangu hanya bisa menatap televisi  dengan gambar-gambar suram
Bergerak-gerak tak jelas  seperti rumbai-rumbai malam yang semakin kelam
Sedikit berjalan agak gontai, aku kembalikan wayang Semar ke dinding
Yang letaknya bersanding dengan fotoku
Dalam kesadaran yang samar-samar, wayang Semar seperti bicara kepadaku,
“Jangan lupa, ya cu! Dengan sifat-sifatku yang  harus kau teladani
Agar menjadi ageman dalam bertindak dan berprilaku di dunia ini!”

Bumi Pangarakan, Bogor
Senin, 30 Desember 2013 01:24 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar