Denmas Priyadi: "Inilah Karyaku" - senin, 30 Desember 2013 01:43 WIB
Karya: Slamet Priyadi
Ada seekor kupu-kupu kecil mungil
Terbang melayang berputar-putar, lalu hinggap di wayang Semar
Yang hiasi dinding ruang tamu rumahku yang tak begitu besar
Aku sama sekali tak peduli dengan kupu-kupu kecil itu
Sebab sedang asyik saksikan pertandingan sepak bola
Antara tim Persija Indonesia melawan PDRM Malaysia
Yang pada akhirnya dimenangkan tim Persija dengan score satu-dua
Yang pada akhirnya dimenangkan tim Persija dengan score satu-dua
Saat aku makan kue Bugis, dan reguk seteguk air kopi manis
‘tuk hangatkan badan dalam cuaca
malam yang semakin dingin menggrigis
Kupu-kupu kecil itu terbang berputar-putar sebentar di atas kepalaku
lalu hinggap lagi di wayang Semar, dan matanya menatap kearahku
Aku mulai peduli dan bertanya-tanya dalam hati
Kenapa kupu-kupu kecil itu hinggap dua kali di wayang Semar
Setelah terbang berputar-putar di atas kepalaku tadi?
Seakan menunjukkan kepadaku tentang apa, dan siapa tokoh Semar
Menyadari semua itu, aku segera beranjak dari bangku
Menuju dinding tempat wayang Semar yang bersanding dengan foto diriku
Lalu aku mengambilnya, sementara kupu-kupu kecil itu keluar berlalu
Aku tatap wajah wayang Semar yang nampak lugu dan lucu
Wajah Semar yang berwarna putih dan badan Semar yang berwarna hitam
Dua warna simbol kehidupan dunia di alam marcapada, alam keduniawian
Yang selalu hidup berdampingan, saling mengisi dalam harmoni keseimbangan
Dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan hewan, dan tumbuh-tumbuhan
Dalam kehidupan manusia, ada akal dan budi
Jika mampu memiliki dan memeliharanya dengan terpuji
Jadikan kita sejatinya manusia, manusia-manusia sejati
Manusia yang penuh mawas diri, tak mengumbar nafsu dan ambisi
yang kata-katanya dapat menjadi penyejuk jiwa
yang perilakunya dapat digugu dan ditiru, satu dalam sikap dan kata
Akan tetapi yang banyak terjadi dan nyata
Akal dan budi berjalan sendiri-sendiri
Akal hanya dijadikan alat kendaraan nafsu angkara murka
Untuk memintari, menipu, membohongi sesama
Hilangkan kehambaannya, lenyapkan kemanusiaannya dan sirnakan harga diri
Ada guru mencabuli muridnya, karena
tak mampu menahan birahi
banyak ibu membunuh bayinya, karena malu hamil di luar nikah
para penegak hukum sudah kehilangan muka karena menjual almamaternya
para pendawah kehilangan marwahnya karena kitab tak lagi acuannya
para politikus hilang kejuangannya karena ambisinya hanya kedudukan
saja
para pejabat menyikat habis uang rakyat, korupsi merajalela Dimana-mana
di setiap lini dan instansi dari hulu hingga ke hilirnya semua nyaris
terlibat
Budi tak lagi jadi kendali karena dibebani beban nafsu yang kiat berkarat
Ketika rasa kantuk itu menyengat mataku
Aku termangu hanya bisa menatap televisi dengan gambar-gambar suram
Bergerak-gerak tak jelas seperti
rumbai-rumbai malam yang semakin kelam
Sedikit berjalan agak gontai, aku kembalikan wayang Semar ke dinding
Yang letaknya bersanding dengan fotoku
Dalam kesadaran yang samar-samar, wayang Semar seperti bicara kepadaku,
“Jangan lupa, ya cu! Dengan sifat-sifatku yang harus kau teladani
Agar menjadi ageman dalam bertindak dan berprilaku di dunia ini!”
Bumi Pangarakan, Bogor
Senin, 30 Desember 2013 01:24
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar