AKU DAN PUISI
By Sita Rose
Saat hati sedang senang aku tulis puisi
Saat pikirku melayang juga kutulis puisi
Saat hatiku sedang susah aku tulis puisi
Saat aku sedang marah juga kutulis puisi
By Sita Rose
Saat hati sedang senang aku tulis puisi
Saat pikirku melayang juga kutulis puisi
Saat hatiku sedang susah aku tulis puisi
Saat aku sedang marah juga kutulis puisi
Aku
adalah puisi, dan puisi itu adalah aku
Puisi-puisi dan aku adalah dua dalam satu
Aku dan puisi-puisiku telah menjadi satu
Puisi-puisi dan aku adalah dua dalam satu
Aku dan puisi-puisiku telah menjadi satu
Tak
ada orang lain yang bisa menggangu
Kp.
Pangarakan, Bogor
Minggu, 15 Feb. 2015 - 17:15 WIB
NEGARAKU, TETAP
JAYALAH SELAMANYA!
Karya : Slamet Priyadi
Awan-awan
mendung layang berarak di puncak gunung
Bersayap
bulu-bulu hitam kelabu tanda alam berkabung
Derai
linangan air mata terus saja netes tak bisa diurung
Sebab
orang-orang kecil masih keras menjerit
meraung
Dimangsa
buasnya hukum rimba terbelenggu terkurung
Dalam
neraka kemelaratan yang terasa semakin kadung
Sementara hutan-hutan di bukitpun semakin kerontang
Dibalak
oleh pemangsa galak ditebang pemangsa garang
Yang
tiada henti-henti menyerbu serang malah bersarang
Di
balik gumuk belukar, rimbunnya hutan berdaun uang
Bergelimang
kemewahan bersuka ria bersenang-senang
Berenang
di kolam air matanya orang-orang yang malang
Di
mana-mana, di sana-sini, di sini-sana semua sama saja
Berlomba-lomba
rebutkan kursi jabatan utama penguasa
Demi
raih ambisi kedudukan jual muka dan etika tak apa
Mendiskredit,
ungkit-ungkit kesalahan adalah pilihan cara
Yang
penuh antrak-intrik, taktis, strategis, etis berlogika
Jadi
ricuh, kacau-balau, awur-ngawur pun gegap-gempita
Demonstrasi di
sana-sini adalah gelombangnya revolusi
Ada
yang termotivasi murni, ada pula yang terkomersialisasi
Demonstrasi
murni bertujuan suci perlu ditanggapi dan diapresiasi
Demonstrasi
yang penuh komersialisasi bertujuan untuk makarisasi
Perlu
ditumpas dan dibasmi sebab bikin negeri kacau tak damai lagi
Demi
persatuan, kesatuan bangsa dan Negara
Republik Indonesia
Yang
berdasar PANCASILA dan UUD 45 Berlambang
GARUDA
Selamatkan
Bangsaku, selamatkan Negeriku, selamatkan Negaraku
Republik
Indonesia Semoga Tetaplah Jaya Selamanya!
Kp.
Pangarakan, Bogor - Minggu,
15 Februari 2015 – 11:11 WIB
PERISTIWA SEPULANG KERJA
By Slamet Priyadi
Saat pulang kerja pada hari Senin, tanggal dua
bulan Febuari
Tepat pada pukul lima tiga puluh lima sore
jelang petang hari
persis di muka rumahku Kp Pangarakan daerah
Bogor Ciawi
Saat Matahari Senja benamkan diri sembunyi di
balik Pertiwi
Motor ojek langganan yang biasa aku tumpangi
pun berhenti
Kuambil uang limaribuan dari saku baju kemeja
seragam biru
Lalu
kuberikan pada ojek langganan yang tersipu malu-malu
Akupun masuklah ke dalam rumah duduk di bangku bambu
Sambil reguk seteguk kopi hangat yang baru
dibuatkan istriku
Aku lepas segala lelah segarkan kepenatan yang
mengganggu
Baru sepuluh menit nikmati kopi hangat, aku
dengar dan lihat
Di depan rumah orang-orang pada berteriak
pating mencelat,
“Aya oray tanah, aya oray kobra, hayu paehan,
hayu paehan!”
Aku segera lari lompat ke luar rumah turut
ikutan melihat-lihat
Hand phoneku yang ada di lopa ikat pinggang
aku pegang kuat
Dalam selokan yang berair keruh ular hitam
kencang menjalar
Terus dikejar dipukuli, dipentungi, digetoki
dengan kayu galar
Ular kobra tanah besar tak berdaya sakit
menggelepar-gelepar
Menoba bersembunyi di balik batu besar
tubuhnya melingkar
Tetapi akhirnya ular itu terkapar kepalanya
pecah kemepyar
Kp. Pangarakan, Bogor
Kamis, 05 Februari
2015-21:21 WIB
ORANG GILA MISTERIUS
Karya: Slamet Priyadi
Orang tua gila itu bertubuh kurus dan kumal
Berambut gimbal panjang dan menggumpal
Berwajah muram,
lusuh, kotor, dan berdaki
Gering berbaring
di emperan toko yang sepi
Depan SPN Lido jalan raya Ciawi-Sukabumi
Sejak jam tiga
pagi hingga sampai sore hari
Orang tua gila itu tak jua mau beranjak pergi
Tak ada seorangpun yang peduli dan empati
Pada nasib orang tua gila itu yang barang kali
Haus dan lapar sebab belum makan dari pagi
Sementara itu, di
jalan raya Ciawi-Sukabumi
Ratus kendaraan
kampanye Pemilu legislasi
Membuat kemacetan
semakin menjadi-jadi
Di tengah jubelnya
kendaraan aku menepi
Menghampiri orang tua gila itu lalu kusalami
Aku
menyapanya namun dia diam membisu
Hanya
matanya nanar mendelik menatapku
Seperti marah
sebab merasa diusik diganggu
Beberapa saat kemudian ia duduk berpangku
Tangan bertopang dagu matanya menatapku
Tak peduli kemacetan suara bising kendaraan
Meski hati berdebar rasa bergidik gemetaran
Aku coba duduk di sisinya menyapa perlahan:
“Bapak, sedari
pagi di sini, apa sudah makan?”
Dia cuma bisa gelengkan
kepalanya perlahan
Ku ambil bungkus nasi rames dari dalam tasku
Aku tawarkan kepadanya, dia tetap membisu:
“Pak, ini ada
nasi rames, silahkan dimakan, pak!”
Orang gila itu tetap geleng-gelengkan kepalanya
Kali ini dia menjawab dengan suara terbata-bata,
“nak, terimakasih
atas perhatiannya pada bapak,
terus terang
bapak sudah tak butuh makan, nak!”
Mendengar jawabannya, aku benar-benar
heran:
“Oya,kalau begitu
ini ada sedikit uang untuk bapak,
Mungkin ini akan
lebih berguna untuk bapak kelak?”
Aku ambil selembar uang limapuluhribuan dari dompetku
Aku sodorkan ke
tangan kanannya yang kurasakan hanya
Bagai
sentuh tulang, tak ada kulit yang
membungkusnya
Tapi lagi-lagi aku heran tak habis pikir dan
bertanya-tanya?
Orang tua itu menolak
uang pemberianku seraya berkata:
“Nak, sekali lagi
terimakasih! Bapak sudah tak butuh apa-apa
Berikan uang itu
untuk keluarga dan itu akan lebih berguna,
dan bapak doakan
semoga kelak anak sekeluarga diberikan
rizqi yang banyak dari Tuhan
Yang Maha Kuasa!”
“Jika demikian,
saya mohon maaf, pak! mungkin
sikap saya tadi kurang sopan dan telah membuat
bapak tersinggung,
rumah saya di dekat sini pak,
saya kembali dulu.”
Setelah berkata
demikian aku pun segera berlalu
Tapi baru tiga langkah aku berjalan dari tempat itu
salah seorang yang melihatku bertanya kepadaku:
“Maaf, pak! tadi
bapak seperti bicara sendirian
Dengan siapakah
tadi bapak ngobrol bicara?”
Pertanyaan itu, membuatku jadi terheran-heran
Aku menengok ke belakang ke arah tempat bicara
menyapa dan bicara ngobrol dengan orang tua gila
dan, sungguh di
sana memang tak ada siapa-siapa
Aku tak habis pikir, terheran-heran, dan
bertanya-tanya
Sebenarnya siapakah dia, dan kemanakah orang tua gila
yang hilang lenyap begitu saja dan pergi entah ke
mana?
Dan orang yang bertanya kepadaku geleng-geleng kepala
Hening sejenak, barulah aku sadar, temukan jawabannya
Rupanya
cuma aku sendiri yang bisa lihat orang gila itu
Hi hi hi hi, aku jadi tertawa sendiri merasa geli
dalam hati
Menyadari kalau
aku sendiri yang menjadi orang gilanya
Sebab duduk
sendiri dan bicara sendiri di emperan
toko
Di tempat keramaian
di depan sekolah kepolisian Lido
Itulah peristiwa unik pengalaman misteri yang aku
alami
Dengan orang
gila misterius yang masih penuh misteri
Yang ada di emperan toko Indomaret SPN Lido,
jalan raya Ciawi-Sukabumi
Bumi Pangarakan, Bogor
Kamis, 19 Februari 2015 – 3:24 WIB
SEMERAWUT DALAM KEMELUT
Karya Slamet Priyadi
Awan-awan mendung layang berarak di puncak gunung
Bersayap bulu-bulu hitam kelabu tanda alam berkabung
Derai linang air mata terus saja menetes tak bisa diurung
Sebab orang-orang kecil masih keras menjerit meraung
Dimangsa buasnya hukum rimba terbelenggu terkurung
Dalam neraka kemelaratan yang terasa semakin kadung
Sementara hutan-hutan di bukitpun
semakin kerontang
Dibalak oleh pemangsa galak ditebang pemangsa garang
Yang tak henti-henti menyerbu serang
malah bersarang
Di balik gerumbul gumuk hutan rimbunnya dedaun uang
Bergelimang kemewahan bersuka ria bersenang-senang
Berenang di kolam air matanya orang-orang yang malang
Semerawut kemelut bursa kepemimpinan diayak-goyang
Mengusut-usut benang kusut kesalahan lampau diterawang
Saling dalih-berdalih kebenaran adalah taktik untuk menang
Mengatur strategi tarik-ulur laksana bermain layang-layang
Tiada pikir itu membuat masyarakat
dalam suasana gamang
Tertutupkan selimut politik warna putih hitam suram garang
Dalam semerawutnya kemelut yang masih berekor panjang
Masih adakah harapan munculnya cahaya kemintang terang
Yang bisa sinari gelapnya nasib
rakyat kecil bernasib malang
Yang melangkah lemahsebab dua kakinya tak lagi bertulang
Yang cuma mampu bergerak ngesot ronta melalang melang
Menanti tulung-pitulung dari para pembijak para penopang
Kamis, 19 Februari 2015 – 19:35 WIB
Slamet Priyadi
Di Kp. Pangarakan, Bogor