Rabu, 09 Maret 2016

PUISI BULAN FEBUARI KARYA KI SLAMET 42

Blog Ki Slamet 42 : "Inilah Karyaku"
Rabu, 09 Maret 2016 - 16:48 WIB


GUGURNYA SANG PANDITA DORNA
Karya : Ki Samet 42

Alkisah begawan Dorna jadi panglima perang Kurawa
Di dalam perang Baratayuda Amarta melawan Astina
Nampak  gagah  perkasa Dorna berdiri di atas kereta
Dengan senjata panah sakti yang hias di punggungnya
Meski banyak dihujani panah berbagai macam senjata
Tapi, tiada satupun juga senjata yang bisa melukainya

Melihat keadaan ini Sri Kresna khawatir tiada terkira
Sebab dia tahu tak satupun bisa kalahkan sang Dorna
Kecuali jika putera terkasihnya Aswatama telah tiada
Sri Kresna pun bersiasat, perintahkan kepada Arjuna
Agar berikan  kabar berita  pada Sang Pandita Dorna
Bahwasannya sang putera Aswatama itu telah perlaya

Timbul rasa sungkan dan enggan di dalam hati Arjuna
‘Tuk laksanakan strategi  siasat dusta dari Sri Kresna
Sebab Pandita Dorna adalah guru yang dihormatinya
Yang ajarkan padanya kecekatan memanah tiada tara
Yudistira saudara tertuannya juga berpendapat sama
Bagus mati daripada beri kabar bohong pada gurunya

Sementara Pandita Dorna makin dahsyat tandangnya
Rentangkan tali busur lepaskan panah-panah saktinya
Banyaklah prajurit Pandawa yang gugur di medan laga
Tewas seketika tertembus panah sang Pandita Dorna
Lihat pasukan Pandawa banyak yang meregang nyawa
Bima melompat ke muka turun dari kereta perangnya

Bima  berkata, bahwa dia sepakat perintah Sri Kresna
Maka Bima majulah ke depan hadang gajah Aswatama
Kendaraan perang yang dikendalikan oleh raja Malawa
Dipukullah  gajah dan penunggangnya itu dengan gada
Sehingga Raja Malawa serta gajah bernama Aswatama
remuk badannya dan hancur kepalanya tewas seketika

Bima pun segera sampaikan kabar berita kepada Dorna
Bahwasannya Aswatama sudahlah tewas di medan laga
Mendengar kabar putera terkasihnya ‘lah gugur perlaya
Betapa terpukul sekali jiwanya, dia teramatlah berduka
Seketika itu dia jatuh pingsan di atas kereta perangnya
Tapi sebentar kemudian kembali temukan kesadarannya

Sang Pandita Dorna  yang  mumpuni  sakti  dan  digjaya
Masih belum percaya atas berita yang disampaikan Bima
Bahwa puteranya terkasih Aswatama gugur di kurusetra
Dia bertanya pada Yudistira yang di sepanjang hidupnya
Dikenal orang yang penyabar dan tiada pernah berdusta
“Yudistira, apakah benar puteraku, Aswatama perlaya?”

Dengan sedikit ragu dan lidah kelu menjawab Yudistira,
“Ya guru,  Aswatama memang telah tewas di kuru setra,
Akan tetapi....” Belumlah selesai Yudistira berkata-kata,
Sang guru,  Pandita Dorna menjadi lemah tiada berdaya
Dia  tak lagi miliki semangat hidup, pingsan lagi di kereta
Di  tempat  duduknya yang  berhias manikam indah rupa

Para resi dan para dewa bersoraklah riuh riang gembira
Dari angkasa raya mereka semua taburkan bunga-bunga
Seraya berucap kata,  “Kemenanganlah untuk Arjuna!”
Pada kesempatan itu,  Drestajumena binasakan Dorna
Dengan penggal kepala  sang  panglima perang  Kurawa
Hingga kepala pandita Dorna terpisahlah dari badannya

Melihat perlakuan sadis  yang dilakukan Drestajumena
Yudistira, putera Dewa Darma pun berucap kata-kata,
“Kau bererdosa Drestajumena bunuh seorang Pandita!”
Tetapi Drestajumena tak pedulikan kata-kata Yudistira
Ia bahkan melempar-lempar kepala sang Pandita Dorna
Ke  atas ke bawah berulang-ulang dengan perasan suka

Melihat ulah Drestajumena itu raja Kurupati Suyudana
Alangkah sangat murka,  dia berteriak sekeras-kerasnya
Hatinya  dicekam rasa ngeri  dan amarah melihat kepala
Pamannya Pandita Dorna dilempar ditendang bagai bola
Tapi Drestajumena tak peduli dengan amarah Suyudana
Dia bahkan melempar kepala itu sampai kenai muka raja

Sementara itu para  prajurit tentara  pasukan Pandawa
Semakin bersemangat daya tempurnya dengan tewasnya
Panglima perang kurawa, Sang begawan Pandita Dorna
Mereka teruslah berjuang menyerbu dengan dahsyatnya
Menyerang cara bergelombang seluruh pasukan Kurawa
Hingga banyaklah prajurit Kurawa yang meregang nyawa

Tiadalah terhitung jumlahnya korban dari pihak Kurawa
Yang tewas terbunuh di medan pertempuran Kurusetra
Mayat-mayat bergelimpangan,  berserakan di mana-mana
Salinglah bertumpukan tertindih bangkai gajah dan kuda
Pendeta Krepa,  Arya  Sangkuni,  dan sang  Prabu  Salya
Melarikan diri dari  medan tempur sertai  Raja Suyudana

Di saat mereka larikan diri,  datang Aswatama bertanya,
Kenapakah  mereka bisa melarikan diri dari medan laga ?
Pendeta Krepa  menjawab, bahwa  Dorna telah  perlaya
Tewas mengenaskan  kepalanya  dipenggal Drestajumena
Saat  jatuh terduduk, pingsan  di atas kereta perangnya
Dan kepalanya dilemparkan ke arah muka Raja Suyudana

Maka betapalah murka sang Aswatama anak Kumbayana
Dia bersumpah  ‘tuk balas dendam kepada Drestajumena
Yang telah sadis membunuh ayahnya sang Pandita Dorna
Dengan memenggal kepala kemudian melempar-lemparnya
Kepala ayahnya yang sangat dihormatinya itu begitu rupa,
“Kau lihatlah ini, aku akan membunuhmu Drestajumena!”

Dengan mengandalkan senjatanya panah keramat Narayana
Aswatama mengamuk dahsyat tiada yang bisa mencegahnya
Dia terus bersumpah serapah kasar cari-cari Drestajumena
“Huah... Drestajumena pengecut! Dimanakah kau berada?”
“Dan, aku akan pastikan segera  memenggal kepalamu juga,
Seperti yang kau lakukan kepada ayahku, Pandita Dorna !”

Maka setelah berkata demikian melesatlah panah Narayana
Menyapu bersih para prajurit Pandawa yang tewas seketika
Mati terbakar oleh api keramat dari panah sakti Aswatama
Hal ini membuat semua prajurit Pandawa yang masih tersisa
Menjadi kecut dirasuki perasaan takut yang tiada terhingga
Semangat juang makin lemah  sebab rekannya banyak binasa

Dalam situasi seperti ini, Yudistira perintahkan pada Arjuna
Agar bersama-sama para prajurit pasukan  yang di pimpinnya
Maju ke garis depan untuk mengatasi tandangnya Aswatama
Namun Arjuna tak miliki semangat karena kematian gurunya
Dia  dirudung  duka nestapa  dan penyesalan yang tiada tara
Rasa bersalah kepada gurunya membuat ia lupa jiwa kesatria

Pikirnya,  pastilah orang akan menyalahkannya,  dan berkata :
 “Ia telah berdosa membunuh seorang guru yang dihormatinya,
Itu sungguh memalukan karena Arjuna murid terkasih Dorna,
Semua negara  tentulah akan  mencibirnya,  dan menghinanya
Dengan mengatakan, ia sangat tidaklah jujur kepada gurunya,
“Lebih baik saya ini pergi mencari tempat di hutan rimba saja”.

Sikap Arjuna seperti itu teramat membuat kecewa Bima Sena
Sang Bima  pun berkatalah kepada adiknya, si Janaka Arjuna:
“Arjuna, jika kau bersikap demikian mengingkari jiwa kesatria!
Ya,  kau berdamailah dengan Aswatama, dan biarlah aku saja
Yang akan bunuh Aswatama yang dengan panah Narayananya
Sudah  membunuh ribuan prajurit kita  di medan  kurusetra”.

Demikianlah kata-kata Bima Sena kepada adiknya R. Arjuna
Sementara itu, di tempat lain Setyaki ngejek Drestajumena:
“Ha, ha, ha,  Drestajumena kau akan membunuh Aswatama
Silahkanlah berbuat sesukamu, aku Cuma bisalah tertawa”.
Drestajumena, putera Raja Drupada jadi berang tiada kira,
Rentang busur panah ke arah Setyaki yang bersenjata gada

Peristiwa ini telah buat Bima turun dari kereta perangnya
Dengan Segera ia rangkul Setyaki yang diikuti oleh Nakula
Lalu keduanya berkata kepada Setyaki dan Drestajumena
Bahwa apabila keduanya masih saling olok bertengkar saja
Maka kemungkinan besar mereka ‘kan saling beradu nyawa
Maka mereka pun ditenangkan oleh Kresna  dan Yudistira

Setelah Setyaki dan Drestajumena berdamai bagai semula
Maka keduanya pun majulah bersama-sama ke medan laga
Untuk atasi amuk Aswatama, putera sang pendeta Dorna
Yang membabi buta  kobari api dari panah sakti Narayana
Hingga banyak prajurit Pandawa mati terbakar api dahana
Mereka  meregang nyawa  gugur di medan laga  Kurusetra

Maka  Kresna  pun perintahkan kepada pasukan Pandawa
Agar mereka  semuanya masing-masing  ke luar dari kereta
Mereka pun dengan cepat melakukan perintah Sri Kresna
Hanya Bima sajalah yang berada di dalam kereta perangnya
Dengan demikianitu maka panah-panah api sang Aswatama
Yang tak terhitung jumlahnya semua menuju ke  arah Bima

Pada saat itulah panah sakti Arjuna yang bernama Baruna
Melesat pesat cepat laksana kilat dari tangan sang Arjuna
Putera Dewa Indra yang kecakapan memanahnya tiada dua
Maka tertolonglah Bima dari tajam panasnya api Narayana
Sedang panah sakti keramat Narayana hilanglah gaib sirna
Hal ini  menjadikan  bertambahnya keberangan  Aswatama

Dia pun  keluarkan panah sakti lainnya  bernama Tejomaya
Yang kesaktiannya panah itu jumlahnya bisa berlipat ganda
Maka Aswatama rentangkan tali busur dan anak panahnya
Tejomaya mendesing melesat cepat jadi ratusan jumlahnya
Menuju ke arah Bima dan semua prajurit pasukan Pandawa
Yang  masih belum sadari bahaya yang mengancam jiwanya

Kresna dan Arjuna cepatlah menarik tubuh sang Bima Sena
Lalu melompat dari atas kereta berdiri di atas tanah segera
Ketika saksikan panah-panahnya disapu bersih panah Arjuna
Semakin memuncaklah kemarahan Aswatama, putera Dorna
Dia pun keluarkan senjata handal sakti panah pamungkasnya
Yang dapat keluarkan api sebesar gunung yang menyala-nyala

Sang  putera Dewa Indra,  Arjuna pun keluarkan senjatanya
Ialah Brahmastra,  panah sakti penghancur berbagai senjata
Panah  pamungkas, Aswatama yang dahsyat berkobar apinya
Semuanya disapu bersih dihancurkan oleh panah Brahmastra
Melihat  kegagalan ini  timbul rasa malu  pada diri Aswatama
Ia pun secara diam-diam melarikan diri sembunyi di belantara

Di hutan belantara ini, Ia berdiam di tempat suci Wagiswara
Sementara itu,  keadaan prajurit pasukan Kurawa di Astina
Sepeninggalnya alami kekalahan besar oleh prajurit Pandawa
Pasukannya menjadi lemah dan lumpuh tiada lagi punya daya
Setelah  sang  Begawan, sang Pandita Dorna,  gugur  perlaya
Sungguh Kerajaan Astina menjadi seperti tiada punya nyawa  

Minggu, 28 Febuari 2016 – 12:42 WIB
Ki Slamet 42 Di Pangarakan, Bogor



DAN PADA AKHIRNYA, KITA ?
Karya : Ki Slamet 42

Tulang-tulangku pating  prak kemepryak
Jari jemari di kakiku makin membengkak
Rasa ngilu nyeri di kaki berdenyut nguak
Ketika bangun  saat kaki mulai bergerak
Pun saat aku jongkok buang hajat berak

Maka aku mengaduh menjerit berteriak
Bagai seekor anjing yang keras menyalak
Terkena timpuk sandal dari kayu bakyak
Yang dilempar abang Adis Habib Gemak
Dedengkot Rasamala yang terkenal galak

Aku bilang sama dia si Habib Adis Gemak
Jadi orang jangan galak apalagi suka malak
Meski jago punya ilmu kebal penolak balak
Kalo lagi naas kelemahan gampang ditebak
Kalo orang pade kesel ente bisa dikampak

Sebelum kite sama orang banyak dilabrak
Bagusnye kite insyaf jauhin berbuat rusak
Jangan lupa mata ente udeh kena katarak
Jari di tangan, di kaki sudah pada bengkak
Tubuh kite ini pun dah terasa gak kepenak

Begitu juga aku yang suka gerusuk-gerasak
Jika bicara apa lagi ketawa sukalah ngakak
Wuak wuak wuak wuak bagai burung gagak
Terbang  di atas sungai yang airnya gelegak
Melayang  sempayang lalu  jatuh ngejoprak

Kp Pangarakan, Bogor
Sabtu, 20 Februari 2016 – 09:09 WIB



“SETYA PATI DEWI SITI SUNDARI”
Karya : Ki Slamet 42

Ketika tersiar berita Abimanyu gugur di Kurusetra
Betapa duka nestapa rasukliputi keluarga Pandawa
Sang ibu Wara Sumbadra tiada bisa tahan rasa lara
Berkali jatuh pingsan tak mau terima kenyataannya
Apa lagi kedua sang istri yang amat besar cintanya
Dewi Utari dan Dewi Siti Sundari yang amat jelita

Sungguh teramat iba Dewi Utari sedang hamil tua
Mengandung delapan bulan cucu dari sang Arjuna
Ia tak boleh ikut mati bersama suami ke alam baqa
Dan niscaya,  mesti tetaplah tinggal  di alam dunia
‘Tuk membesarkan ananda  sang Abimanyu putera
Maka Dewi Siti Sundarilah yang siap berpati setya

Wahai kanda Utari, janganlah terus susah nestapa
Biar  aku yang temani kanda Abimanyu  suami kita
Yang  telah gugur perlaya  sebagai  kesuma bangsa
Dan  kulakukan ini ‘tuk abdikan diri jiwa dan raga
Pada kanda Abimanyu yang dengan gagah perkasa
Berjuang korbankan nyawa demi keutuhan negara

Kanda Utari,  setulusnya kepadamu  aku meminta
Jangan sampai hilang lenyap akan kecintaan kanda
Kepadaku dan kepada kakanda Abimanyu tercinta
Buatlah syair indah di dalam bangunan mempesona
Tentang diriku agar aku bisa bicara pada kakanda
Sebab dengan syair itu aku bisa kembali menjelma

Kanda Utari hendaklah lihat pada bunga angsana
Yang di sana tumbuh dua di atas satu dahan saja
Dan kakanda Utari pun hendaknya menyapa saya:
“Ambillah bunga, wahai kau yang berbadan mega”
Dan dengan suara guruh aku akan menjawabnya:
“Air-mata akulah yang  jadi merupakan hujannya!”

“Dan kini pasti namaku burung tadah-asih, kanda
Suka terbang bermain di bawah cahaya purnama,
Kan bernasib suram dan mati jika tak ada cahaya
Bila purnama bersinar aku hidup lagi bersuka ria
Jika kanda Utari inginlah  berjumpa dengan saya
Bacalah syair di bunga pudak yang harum baunya”

Dan syair itu jangan kanda hapus dengan air mata
Yang mengalir  saat kanda  mencium pudak bunga
Demikian Siti Sundari akhiri ucapan kata-katanya
Sambil gigit daun sirih, Dia lompat ke api menyala
Kobaran api suci hantarkan damaikan jiwa sukma
Dewi Siti Sundari yang ikut suami mati Pati Setya

Kp. Pangarakan, Bogor
Sabtu, 13 Februari 2016 – 18:05 WIB



“MISTERI JAM TIGA DUA-DUA PAGI”
Karya : Ki Slamet 42

Tepat pukul dua lewat tiga puluh di pagi hari
Alarem di HP Nokia jadulku nyaring berbunyi
Bangunkan aku darilah tidur yang lelap sekali
Peringatkan aku  agar cepat segeralah mandi
Untuk berangkat kerja lakukan tugas profesi

Sementara hujan lebat masih belum jua henti
Mengguyur basah kampung Pangarakan bumi
Basahkan becekkan jalan yang biasa aku lalui
Naik ojek si Kentung langgananku sehari-hari
Yang biasa antar aku  pergilah kerja tiap pagi

Sambil menanti kang Kentung aku teguk kopi
‘Tuk sirnakan rasa kantuk segarkan tubuh ini
Dari cuaca dingin nan mencekam gelap taguli
Aku dengar katak-katak bangkong  bernyanyi
Kidung nyanyian alam bahagiakan Ibu Pertiwi

Tepat pukul tiga lewat dua puluh Ketunggani 
Sipengojek yang selalu tepat pun datang pasti
Tiba di depan rumahku sudahlah siap menanti
Aku hampiri motor ojek dan segera naik pergi
Berangkat kerja laksanakan tugas profesi suci

Dibarengi guyur hujan yang  mulai kecil merinai
Dan hanya berpayung mantel hujan plastik mini
Maka berputar roda-roda motor beranjak pergi
Jalan kecil licin basah  dan becek  tetap dilalui
Ojek teruslah melaju di tengah jalan listrik mati

Persis di simpangan tiba-tiba motor oleng ke kiri
Dan terperosok di selok yang  airnya kotor sekali
Seragam sepatu baju tas celana basah tak terperi
Untung saja tiada luka di tubuh yang terasa nyeri
Padahal di dalam selok itu ada tertanam batu kali

Aku ikutlah bantu angkat motor ojek Ketunggani
Dari selokan kecil yang berair  kotor penuhlah tai
Sambil bersihkan baju  celana yang telah ternodai
Aku pun bertanya pada kang ojek si Kentunggani
Tentang sebab mengapa peristiwa itu bisa terjadi

Dengan ekspresi wajah yang nampaklah pucat pasi
Ketunggani menjawabnya penuh rasa takut ngeri,
“Entahlah pak, saya juga merasa heran sekali tadi,
Tiba-tiba saya lihat ada nenek-nenek menghalangi
Sambil rentangkan tangannya tunjuk arah ke kiri!”

Mendengar penjelasan dari Kang Ojek Kentunggani
Aku pun faham dan sadari dengan apa yang terjadi
Sebab peristiwa serupa aku pernah juga mengalami
Di waktu, jam, dan tempat yang sama  di daerah ini
Di jalan simpangan tiga tepat saat pukul  03:22 pagi

Kp Pangarakan, Bogor
Rabu, 10 Februari 2016 – 18:59 WIB


 

“KUCINGKU SI MANIS BERNASIB TRAGIS”
Karya : Ki Slamet 42

Di rumahku ada kucing jantan bernama si manis
Yang setahun lalu  kuambil di saat hujan gerimis
Di dalam selokan berair kotor yang berbau amis
Ngeang-ngeong iba  seperti suara bayi menangis
Mencari-cari  sang induknya yang matilah tragis
Digilas motor saat seberangi jalan sungguh miris

Si Manis berbulu kuning lembut,  lucu dan manis
Jika tidur maunya di kasur kamar tidur si Danis
Anakku yang marah jika kesenangannya digubris
Amat penyayang binatang  apa lagi pada si manis
Kucing yang cakap  menangkap tikus-tikus sadis
Yang selalu kerat karung beras  sampailah habis

Si manis seperti mengerti pada kemauan si Danis
Yang tak mau kamar tidurnya kotor berbau amis
Jika berak  dia langsung saja lari ke toilet Danis
Jilati bulu-bulunya hingga kembali nampak necis
Lalu berlari-lari kecil melompat kian kemari eksis
Pamerkan keberadaan dirinya yang miliki katarsis

Tetapi kucingku si manis sungguh bernasib tragis
Bernasib sama  seperti induknya yang tewas miris
Mati saat bertarung dengan musang pandan sadis
Di saat  melindungi ayam jago peliharaan si Danis
Lehernya luka menganga hampirlah  putus nyaris
Digigit si musang pandan  yang teramatlah bengis

Duka mendalam tiadalah terkira  Danis menangis
Gendong jazad si manis yang bernasib amat tragis
Lalu  galilah lubang kubur si manis dengan linggis
Di samping rumah persis di bawah pohon manggis
Yang berdaun lebat dan buahnya pun manis-manis
Selamat jalan kucingku yang lucu dan lugu si manis


Utankayu Selatan
Minggu, 08 Februari 2016 – 07:45 WIB 



GUGURNYA SENAPATI SWETA
Karya : Ki Slamet 42

Terkisahlah di dalam perang Bharatayuda
Sang pemberahi Sweta putera raja Wirata
Jadilah panglima perang pasukan Pandawa
Berkobarlah api jiwa mulia kepahlawannya
Gegap gempita tandangnya di medan laga

Tombak sakti nan serupa ular naga murka
Melesat dahsyat cepat laksana kilat buana
Menuju ke arah tubuh Bhisma Dewa Brata
Tokoh Astina pura yang sakti mandraguna
Tombak patah cuma melukai lengan Bhisma

Sang Senapati Sweta turun dari keretanya
Dengan membawa gada besar di tangannya
Gadanya pun diayunkan ke rahang Bhisma
Tapi Dewa Brata cepat lompat dari kereta
Kereta, kuda, dan sais luluh lantak binasa

Sang Bhisma pun menjadilah tambah murka
Maka panah api diarahkan ke tubuh Sweta
Mendesing melesat ke tubuh putera Wirata
Hingga tembus ke dalam dada sang panglima
Gugurlah senapati Sweta di medan kuru setra

Kp. Pangarakan, Bogor
Senin, 01 Februari 2016 – 13:35 WIB
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar