DENMAS PRIYADI BLOG | MINGGU, 09 FEBUARI 2013 | 06:50
WIB
Pentas Wayang Kulit |
SEKITAR tahun
tujuhpuluhan ketika saya masih remaja, saya pernah menonton pergelaran wayang
kulit di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pada waktu itu saya belum mengetahui
kalau kesenian wayang yang saya tonton tersebut adalah Wayang Kulit Betawi,
karena setahu saya pada waktu itu wayang adalah bentuk kesenian masyarakat
jawa, terutama Jawa Tengah, tempat saya berasal. Hal ini baru saya ketahui
kemudian bahwa wayang yang saya saksikan tersebut Wayang Betawi setelah saya menikmati pergelaran wayang kulit
tersebut sampai selesai. Ternyata wayang
yang saya tonton tersebut berbahasa Indonesia dengan disana-sini dihiasi dengan
dialek khas Jakarta, penuh humor dan sedikit dialog penuh canda antara dalang
dan para nayaga.
Wayang Kulit Betawi
yang saya saksikan tersebut dimainkan oleh seorang dalang yang pada waktu itu namanya sudah cukup dikenal oleh masyarakat setempat bernama, Bonang. Dari pengalaman
tersebut di atas telah menggelitik saya untuk mengetahui lebih jauh tentang
kesenian Wayang Kulit Betawi.
Wayang Kulit Betawi
adalah suatu pertunjukan wayang yang menggunakan boneka-boneka terbuat dari
kulit kerbau dan penerapan permainan pertunjukannya masih secara Jawa. Diiringi seperangkat musik gamelan dengan
gendang pencak menjadi musik yang dominan dalam mengiringi gerak wayang
disertai tembang-tembang Sunda yang mendayu-dayu dinyanyikan oleh para
pesinden.
Dalam pertunjukan
Wayang Kulit Betawi sama dengan pertunjukan wayang Jawa, dalang menggunakan sekotak wayang kulit
dan delapan orang pemain musik gamelan yang
berperan sebagai pengiring pertunjukan wayang.
Di wilayah Lubang
Buaya, Cijantung, Pasar Rebo, dan
sekitarnya, Dalang Bonang merupakan satu-satunya dalang yang permainan
wayangnya melebihi dalang-dalang lain seangkatannya, konon bahkan dia melebihi gurunya sendiri, Pak Misan yang terlebih
dahulu mengundurkan diri sebagai dalang Wayang Kulit Betawi.
Wayang Kulit Betawi
termasuk salah satu bentuk kesenian tradisional daerah Jakarta yang sampai
sekarang masih digemari masyarakat setempat.
Hal ini terbukti pada setiap pertunjukan di daerah-daerah sekitar
Jakarta selalu ada partisipasi penonton, terlihat dari adanya dialog antara
dalang dan penonton, dalang dan salah satu
pemain gamelan. Mereka saling sahut-menyahut dengan dialog “nguda rasa”(bicara
dengan diri sendiri).
Musik pengiring Wayang
Kulit Betawi adalah seperangkat gamelan yang terdiri kromong 10 nada, Demung 7
nada, 2 saron dengan 5 nada, dua ketuk, satu kempul dan satu gong. Sebagai pembawa melodi lagu adalah instrument
rebab atau bisa juga oleh pesinden. Adapun musiknya berlaras Slendro. Sumber cerita Wayang
Kulit Betawi bermacam-macam, bisa dari cerita rakyat seperti si Jampang, dari
cerita komik, atau dari cerita wayang yang sudah ada maupun cerita karangan. [Referensi
: Pertumbuhan Seni Pertunjukan – Prof. Dr. Edi Sedyawati]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar