Kuburan Etnik Tionghoa di Lasem |
Denmas Priyadi Blog / Jumat, 22
Maret 2013 / 19:52 WIB - Nah,
adik-adik! Kali ini kakak akan bercerita tentang legenda marga Han di kota Lasem. Perlu adik-adik
ketahui kota Lasem termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah. Di kota Lasem ini
sejak ratusan tahun yang lalu sudah banyak dihuni oleh warga masyarakat etnis
Tionghoa keturunan Cina. Salah satunya adalah marga Han yang akan kakak
ceritakan ini.
Sebagaimana
masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih terikat oleh kepercayaan leluhur
seperti tabu, pantang, dan sebagainya, demikian pula dengan masyarakat penduduk
Lasem marga Han ini. Adik-adik beginilah ceritanya.
Diceritakan
satu keluarga Jawa keturunan Cina bermarga Han yang kaya raya terdiri atas
seorang ayah bernama Han yang telah lama ditinggal mati oleh istrinya, dan
empat orang anaknya yang semuanya laki-laki. Sejak ditinggal istrinya, Han selalu bermuram
durja, ia selalu terbayang-terbayang dan teringat-ingat akan kebaikan serta
kesetiaan istrinya yang sangat dicintainya itu. Hidupnya serasa tak bergairah
dan bersemangat lagi. Apa lagi ke empat putranya yang diharapkan bisa
menggantikan dirinya untuk mengelola usahanya tak bisa diandalkan lagi. Mereka
semuanya sibuk dengan kegemarannya masing-masing yaitu berjudi, berjudi, dan
terus berjudi sampai harta benda mereka habis terjual.
“Wahai
putra-putraku, apakah kalian semua tak menyadari akan kegemeran kalian pada
judi itu telah membuat kita miskin dan melarat seperti ini. Kalian tak mau
meneruskan usaha dagang ayah, malah sebaliknya kalian malah menjual habis semua
harta benda kita sampai kita melarat seperti ini.”
“Akh,
ayah! Pokoknya kami semua sudah bosan dan capek pergi dari kampung satu ke
kampung yang lain, kami hanya ingin bersenang-senang. Dari hasil menang judi
pun kami bisa hidup sebagaimana ayah lihat sampai sekarang, lihatlah kami
,ayah! Ha ha ha… kami masih perlente dan necis, bukan?!”
“Bagaimana
ini? Kita tak bisa lagi menguburkan jenazah orang tua kita karena tak sepeser
pun lagi uang ada pada kita untuk membeli peti dan membiayai penguburan ayah.” Tanya saudara tertua pada ketiga
adik-adiknya dengan wajah kusut. Sejenak mereka
diam termenung, lalu saudara keempat, si bungsu menjawab pertanyaan
kakak pertamanya,
“Oya, kakak pertama! Jika demikian
kita minta uang sumbangan saja kepada para tetangga di sini untuk membantu
kesulitan kita, aku yakin mereka akan membantu kesulitan kita.”
“Ya,
ya, ya… boleh, boleh itu! Aku sangat setuju!” jawab kakak pertamanya yang
diamini pula oleh saudara-saudaranya yang lain.
“Kalau begitu, tak usah kita
menunggu lama-lama. Sekarang juga mari kita berangkat untuk meminta uang
sumbangan kematian kepada semua warga di tempat ini. Oya, jangan lupa dalam
meminta uang sumbangan kematian itu, ekspresi wajah dan sikap kalian harus
benar-benar meyakinkan bahwa kita benar-benar sangat berduka dengan kematian
ayah kita, katakanlah kepada mereka semua bahwa sebenarnya kita malu untuk
melakukan ini seandainya masih kaya dan berharta seperti dulu.”
“Baiklah kakak pertama!”
Serempak
ke empat bersaudara putra Han saudagar terkaya di Lasem yang sangat gemar
berjudi itu, melakukan rencananya untuk meminta uang sumbangan kematian ayahnya
kepada para tetangga kampungnya. Mereka pun mendatangi para tetangga dekatnya
dengan mengatakan maksud dan kedatangan mereka, sesuai dengan apa yang
dipesankan oleh saudara tuanya. Dengan akting mereka yang sangat meyakinkan, semua
tetangganya memberi bantuan uang
sumbangan kematian yang mereka sodorkan sebagai turut bela sungkawa atas
kematian orang tua mereka yang memang dikenal sangat baik dan dermawan di
kampungnya.
Ternyata,
uang sumbangan yang berhasil mereka kumpulkan dari para tetangganya sudah lebih
dari cukup bahkan lebih untuk biaya pembelian sebuah peti mati dan biaya
upacara pemakaman ayah mereka. Namun dasar memang sudah berwatak penjudi, uang
dana sumbangan untuk biaya pemakaman ayah mereka itu bukan digunakan
sebagaimana mestinya, malah digunakan untuk bermain judi lagi. Mereka
berspekulasi dengan maksud, jika mereka menang dalam berjudi nanti tentu uang
mereka akan terkumpul lebih banyak lagi. Akan tetapi justru mereka kalah dalam
perjudian, dan uang dana untuk biaya pemakaman ayah mereka, bukannya bertambah
malah uang yang ada habis semua kalah di meja perjudian. Akibatnya, tentu saja
mereka tak bisa lagi menguburkan jenazah ayah mereka. Sekarang mereka tak bisa
lagi menyimpan jenazah itu lebih lama lagi karena harus dikuburkan segera.
Singkat
cerita, karena uang untuk biaya pemakaman ayah mereka sudah dihabiskan di meja
judi, mereka berempat pun membungkus jenazah sang ayah dengan sehelai tikar
yang terbuat dari daun pandan bukan ke dalam peti mati. Saat malam yang gelap
gulita tiba, agar tak diketahui dan dilihat para tetangga, mereka berempat
membawa jenazah sang ayah ke tempat pemakaman untuk dikuburkan secara dam-diam.
Rupanya
Tuhan tak mengizinkan dengan apa yang sedang dilakukan oleh keempat anak
durhaka terhadap jenazah ayahnya itu. Di malam yang gelap gulita itu, tiba-tiba
saja turunlah hujan dengan lebatnya yang disertai suara Guntur yang menggelegar
sungguh memekakkan telinga dan menakutkan. Karena tak bisa melanjutkan
penguburan ayahnya, mereka berempat segera meninggalkan jenazah orang tua
mereka itu begitu saja tanpa diletakkan ke tempat yang lebih layak.
“Hayo
kita pulang, kita tinggalkan saja mayat orang tua kita ini di sini, besok malam
kita kembali lagi.” Demikian ajak kakak tertua kepada adik-adiknya.
“Kakak
pertama, apakah tidak sebaiknya kita pindahkan dulu jenazah ayah kita ini ke
tempat yang lebih aman agar tak tergenang air yang semakin meninggi di
pemakaman ini.” Saran adik ketiga kepada kakaknya.
“Sudahlah adik ketiga, mayat tak
akan berteriak. Kita tinggalkan saja jenazah itu di sini, dan coba lihat dan
dengarkan, malam yang menyeramkan dan menakutkan ini dengan suara Guntur yang
terus menerus berbunyi sangat memekakkan telinga kita. Besok malam saja kita
kembali lagi.”
Akhirnya
mereka pun sepakat untuk kembali lagi ke pemakaman pada esok malam harinya.
Mereka pun bergegas meninggalkan pemakaman kembali ke rumah. Esok
malam harinya, ketika mereka kembali ke pemakaman untuk menguburkan ayahnya,
peristiwa aneh terjadi. Mereka sama sekali tak mendapatkan jenazah ayahnya di
tempat itu, dan mereka hanya melihat di tempat meletakkan mayat ayahnya ada
sebuah kuburan baru dengan sebuah batu nisan tak bernama, apalagi bermarga Han
seperti marga mereka. Keempat saudara sekandung yang penjudi ini lama juga
berpikir dan merenung, menduga-duga apa maksud arti dari peristiwa aneh bin
ajaib yang sedang mereka alami itu. Akan tetapi mereka sama sekali tak
menemukan jawabannya. Dalam kesunyian yang semakin mencekam di malam itu,
tiba-tiba mereka mendengar suara yang berasal dari makam tak bernama itu,
"Anak-anakku, kalian semua sudah durhaka terhadap ayah, tak mau mendengarkan
nasehat ayah, bahkan tega-teganya kalian meletakkan jenazah ayah sembarangan
saja. Kesalahan kalian tak bisa lagi ayah maafkan. Mulai sekarang kalian bukan
lagi bermarga Han, dan kalian tak boleh tinggal menetap di Lasem. Sekarang
pergilah kalian semua ke daerah lain. Jika pesan ayah ini masih kalian langgar
maka kalian dan seluruhturunan keluarga
kalian akan mendapat petaka yang besar."
Mendengar
suara kutukan dari ayahnya itu, serempak mereka berempat bersujud memohon
ampunan dan maaf yang sebesar-besarnya di makam ayah itu. Akan tetapi sesal
kemudian ada gunanya lagi. Maka anak tertua berkata kepada saudaranya,
“Adik-adikku, kalian semua telah
mendengarkan kutukan dari ayah kita. Artinya sebagai tanda kita sudah tak
diakui lagi sebagai anak oleh ayah kita. Dan kita semua, tidak diperkenan lagi
untuk memakai nama Han sebagai marga kita, dan kita juga tidak diperkenankan
lagi untuk tinggal di Lasem ini. Jika kita mengabaikan kutukan ini, maka kita
akan kena petaka dan musibah besar.”
Akhirnya
keempat bersaudara, penjudi, dan pendurhaka kepada orang tuanya itu pergi dan
tak berani lagi tinggal menetap di Lasem.
Berawal
dari kejadian dan peristiwa aneh tersebut,sampai sekarang orang Lasem etnis
Tiongha yang bermarga Han tidak lagi berani tinggal dan menetap di Lasem.
Mereka tabu dan takut untuk melanggarnya karena jika berani melanggarnya mereka
akan mendapatkan musibah dan kemalangan besar dalam hidupnya. Jika masih berani
pun, mereka harus menanggalkan marganya dan menggantinya dengan nama marga lain.
Menurut
cerita penduduk Lasem, terutama dari etnis Tionghoa keturunan Cina, mereka
sangat percaya dan meyakini betul akan kebenaran cerita itu, dan mereka dapat
membuktikannya. Sampai sekarang keburan tak bernama yang sudah berusia ratusan
tahun itu masih ada di di daerah Lasem.
Nah
adik-adik, pelajaran yang bisa kita petik adalah kita harus menghormati kedua
orang tua kita dengan baik. Jangan sampai orang tua kita hatinya sedih dan
kecewa karena perlakuan dan sikap kita terhadap mereka kasar. Pendek kata, kita
jangan sampai durhaka kepada kedua orang tua kita, ibu dan ayah kita. Oleh
karena jika kita tak menghormatinya, tidak pula menyayangi dengan sepenuh hati,
maka selamanya hidup kita tidak akan berkah.
Penulis:
Slamet
Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar