Jumat, 22 Maret 2013

Kisah Keluarga “HAN” di Lasem By Slamet Priyadi


Kuburan Etnik Tionghoa di Lasem

Denmas Priyadi Blog / Jumat, 22 Maret 2013 / 19:52 WIB - Nah, adik-adik! Kali ini kakak akan bercerita tentang legenda marga Han di kota Lasem. Perlu adik-adik ketahui kota Lasem termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah. Di kota Lasem ini sejak ratusan tahun yang lalu sudah banyak dihuni oleh warga masyarakat etnis Tionghoa keturunan Cina. Salah satunya adalah marga Han yang akan kakak ceritakan ini.

Sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih terikat oleh kepercayaan leluhur seperti tabu, pantang, dan sebagainya, demikian pula dengan masyarakat penduduk Lasem marga Han ini. Adik-adik beginilah ceritanya.

Diceritakan satu keluarga Jawa keturunan Cina bermarga Han yang kaya raya terdiri atas seorang ayah bernama Han yang telah lama ditinggal mati oleh istrinya, dan empat orang anaknya yang semuanya laki-laki.  Sejak ditinggal istrinya, Han selalu bermuram durja, ia selalu terbayang-terbayang dan teringat-ingat akan kebaikan serta kesetiaan istrinya yang sangat dicintainya itu. Hidupnya serasa tak bergairah dan bersemangat lagi. Apa lagi ke empat putranya yang diharapkan bisa menggantikan dirinya untuk mengelola usahanya tak bisa diandalkan lagi. Mereka semuanya sibuk dengan kegemarannya masing-masing yaitu berjudi, berjudi, dan terus berjudi sampai harta benda mereka habis terjual. 

“Wahai putra-putraku, apakah kalian semua tak menyadari akan kegemeran kalian pada judi itu telah membuat kita miskin dan melarat seperti ini. Kalian tak mau meneruskan usaha dagang ayah, malah sebaliknya kalian malah menjual habis semua harta benda kita sampai kita melarat seperti ini.”

“Akh, ayah! Pokoknya kami semua sudah bosan dan capek pergi dari kampung satu ke kampung yang lain, kami hanya ingin bersenang-senang. Dari hasil menang judi pun kami bisa hidup sebagaimana ayah lihat sampai sekarang, lihatlah kami ,ayah! Ha ha ha… kami masih perlente dan necis, bukan?!”   

Meskipun ayah Han telah memberikan nasehat-nasehat kepada semua putra-putranya itu dengan sungguh-sungguh akan tetapi keempat putranya sama sekali tak mau mendengarkan bahkan mereka semakin menggila dengan hobi dan kesenangannya dalam berjudinya itu. Akhirnya, sekarang keluarga Han benar-benar telah jatuh miskin. Memikirkan ini semua, Han Jatuh sakit. Beberapa minggu kemudian akhirnya meninggal dunia dalam keadaan yang miskin, melarat dan papa. Anak-anak mereka pun tak mempunyai uang untuk menguburkan jenazah ayah mereka.
 
“Bagaimana ini? Kita tak bisa lagi menguburkan jenazah orang tua kita karena tak sepeser pun lagi uang ada pada kita untuk membeli peti dan membiayai penguburan ayah.” Tanya saudara tertua pada ketiga adik-adiknya dengan wajah kusut. Sejenak mereka  diam termenung, lalu saudara keempat, si bungsu menjawab pertanyaan kakak pertamanya,

            “Oya, kakak pertama! Jika demikian kita minta uang sumbangan saja kepada para tetangga di sini untuk membantu kesulitan kita, aku yakin mereka akan membantu kesulitan kita.”

            “Ya, ya, ya… boleh, boleh itu! Aku sangat setuju!” jawab kakak pertamanya yang diamini pula oleh saudara-saudaranya yang lain.

            “Kalau begitu, tak usah kita menunggu lama-lama. Sekarang juga mari kita berangkat untuk meminta uang sumbangan kematian kepada semua warga di tempat ini. Oya, jangan lupa dalam meminta uang sumbangan kematian itu, ekspresi wajah dan sikap kalian harus benar-benar meyakinkan bahwa kita benar-benar sangat berduka dengan kematian ayah kita, katakanlah kepada mereka semua bahwa sebenarnya kita malu untuk melakukan ini seandainya masih kaya dan berharta seperti dulu.”

            “Baiklah kakak pertama!” 

Serempak ke empat bersaudara putra Han saudagar terkaya di Lasem yang sangat gemar berjudi itu, melakukan rencananya untuk meminta uang sumbangan kematian ayahnya kepada para tetangga kampungnya. Mereka pun mendatangi para tetangga dekatnya dengan mengatakan maksud dan kedatangan mereka, sesuai dengan apa yang dipesankan oleh saudara tuanya. Dengan akting mereka yang sangat meyakinkan, semua tetangganya  memberi bantuan uang sumbangan kematian yang mereka sodorkan sebagai turut bela sungkawa atas kematian orang tua mereka yang memang dikenal sangat baik dan dermawan di kampungnya. 

Ternyata, uang sumbangan yang berhasil mereka kumpulkan dari para tetangganya sudah lebih dari cukup bahkan lebih untuk biaya pembelian sebuah peti mati dan biaya upacara pemakaman ayah mereka. Namun dasar memang sudah berwatak penjudi, uang dana sumbangan untuk biaya pemakaman ayah mereka itu bukan digunakan sebagaimana mestinya, malah digunakan untuk bermain judi lagi. Mereka berspekulasi dengan maksud, jika mereka menang dalam berjudi nanti tentu uang mereka akan terkumpul lebih banyak lagi. Akan tetapi justru mereka kalah dalam perjudian, dan uang dana untuk biaya pemakaman ayah mereka, bukannya bertambah malah uang yang ada habis semua kalah di meja perjudian. Akibatnya, tentu saja mereka tak bisa lagi menguburkan jenazah ayah mereka. Sekarang mereka tak bisa lagi menyimpan jenazah itu lebih lama lagi karena harus dikuburkan segera. 

Singkat cerita, karena uang untuk biaya pemakaman ayah mereka sudah dihabiskan di meja judi, mereka berempat pun membungkus jenazah sang ayah dengan sehelai tikar yang terbuat dari daun pandan bukan ke dalam peti mati. Saat malam yang gelap gulita tiba, agar tak diketahui dan dilihat para tetangga, mereka berempat membawa jenazah sang ayah ke tempat pemakaman untuk dikuburkan secara dam-diam.
Rupanya Tuhan tak mengizinkan dengan apa yang sedang dilakukan oleh keempat anak durhaka terhadap jenazah ayahnya itu. Di malam yang gelap gulita itu, tiba-tiba saja turunlah hujan dengan lebatnya yang disertai suara Guntur yang menggelegar sungguh memekakkan telinga dan menakutkan. Karena tak bisa melanjutkan penguburan ayahnya, mereka berempat segera meninggalkan jenazah orang tua mereka itu begitu saja tanpa diletakkan ke tempat yang lebih layak. 

            “Hayo kita pulang, kita tinggalkan saja mayat orang tua kita ini di sini, besok malam kita kembali lagi.” Demikian ajak kakak tertua kepada adik-adiknya.

            “Kakak pertama, apakah tidak sebaiknya kita pindahkan dulu jenazah ayah kita ini ke tempat yang lebih aman agar tak tergenang air yang semakin meninggi di pemakaman ini.” Saran adik ketiga kepada kakaknya.

            “Sudahlah adik ketiga, mayat tak akan berteriak. Kita tinggalkan saja jenazah itu di sini, dan coba lihat dan dengarkan, malam yang menyeramkan dan menakutkan ini dengan suara Guntur yang terus menerus berbunyi sangat memekakkan telinga kita. Besok malam saja kita kembali lagi.”

Akhirnya mereka pun sepakat untuk kembali lagi ke pemakaman pada esok malam harinya. Mereka pun bergegas meninggalkan pemakaman  kembali ke rumah. Esok malam harinya, ketika mereka kembali ke pemakaman untuk menguburkan ayahnya, peristiwa aneh terjadi. Mereka sama sekali tak mendapatkan jenazah ayahnya di tempat itu, dan mereka hanya melihat di tempat meletakkan mayat ayahnya ada sebuah kuburan baru dengan sebuah batu nisan tak bernama, apalagi bermarga Han seperti marga mereka. Keempat saudara sekandung yang penjudi ini lama juga berpikir dan merenung, menduga-duga apa maksud arti dari peristiwa aneh bin ajaib yang sedang mereka alami itu. Akan tetapi mereka sama sekali tak menemukan jawabannya. Dalam kesunyian yang semakin mencekam di malam itu, tiba-tiba mereka mendengar suara yang berasal dari makam tak bernama itu,
 
            "Anak-anakku, kalian semua sudah durhaka terhadap ayah, tak mau mendengarkan nasehat ayah, bahkan tega-teganya kalian meletakkan jenazah ayah sembarangan saja. Kesalahan kalian tak bisa lagi ayah maafkan. Mulai sekarang kalian bukan lagi bermarga Han, dan kalian tak boleh tinggal menetap di Lasem. Sekarang pergilah kalian semua ke daerah lain. Jika pesan ayah ini masih kalian langgar maka kalian dan seluruhturunan  keluarga kalian akan mendapat petaka yang besar."  

Mendengar suara kutukan dari ayahnya itu, serempak mereka berempat bersujud memohon ampunan dan maaf yang sebesar-besarnya di makam ayah itu. Akan tetapi sesal kemudian ada gunanya lagi. Maka anak tertua berkata kepada saudaranya,

“Adik-adikku, kalian semua telah mendengarkan kutukan dari ayah kita. Artinya sebagai tanda kita sudah tak diakui lagi sebagai anak oleh ayah kita. Dan kita semua, tidak diperkenan lagi untuk memakai nama Han sebagai marga kita, dan kita juga tidak diperkenankan lagi untuk tinggal di Lasem ini. Jika kita mengabaikan kutukan ini, maka kita akan kena petaka dan musibah besar.”

Akhirnya keempat bersaudara, penjudi, dan pendurhaka kepada orang tuanya itu pergi dan tak berani lagi tinggal menetap di Lasem.

Berawal dari kejadian dan peristiwa aneh tersebut,sampai sekarang orang Lasem etnis Tiongha yang bermarga Han tidak lagi berani tinggal dan menetap di Lasem. Mereka tabu dan takut untuk melanggarnya karena jika berani melanggarnya mereka akan mendapatkan musibah dan kemalangan besar dalam hidupnya. Jika masih berani pun, mereka harus menanggalkan marganya dan menggantinya dengan nama marga lain. 

Menurut cerita penduduk Lasem, terutama dari etnis Tionghoa keturunan Cina, mereka sangat percaya dan meyakini betul akan kebenaran cerita itu, dan mereka dapat membuktikannya. Sampai sekarang keburan tak bernama yang sudah berusia ratusan tahun itu masih ada di di daerah Lasem.

Nah adik-adik, pelajaran yang bisa kita petik adalah kita harus menghormati kedua orang tua kita dengan baik. Jangan sampai orang tua kita hatinya sedih dan kecewa karena perlakuan dan sikap kita terhadap mereka kasar. Pendek kata, kita jangan sampai durhaka kepada kedua orang tua kita, ibu dan ayah kita. Oleh karena jika kita tak menghormatinya, tidak pula menyayangi dengan sepenuh hati, maka selamanya hidup kita tidak akan berkah. 

Penulis:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar