Denmas Priyadi Blog | Minggu, 24 Maret
2013 | 14:45 WIB
Pentas Seni Tradisi |
LEBIH LAMBAT dari
tari-tarian tradisi yang sudah mulai diperkenalkan di forum Bhineka Tunggal Ika
sejak tahun 1950-an pada acara-acara 17 Agustus, teater tradisi baru mulai
eksposisinya dalam forum serupa pada
tahun 1977 ketika pertama kali Direktorat Kesenian bekerja sama dengan
Dewan
Kesenian Jakarta mengumpulkan enam bentuk teater tradisi dari berbagai
daerah untuk berpentas bersama di TIM (Taman Ismail Marjuki). Kali ini, di akhir 1980, kedua lembaga yang
sama mengusahakan hadir bersamanya 7 bentuk teater tradisi dan 6 bentuk seni
tutur dari berbagai daerah. Lepas dari segala kekurangan dan
keterbatasannya, usaha ini cukup berarti sebagai upaya untuk menimbulkan
situasi saling kenal.
Teater tradisi
merupakan sebagian dari kenyataan dalam dunia kesenian Indonesia. Dalam kebanyakan kasus, ia terdapat hidup
dalam lingkungan dua alam budaya. Di satu pihak ia ditumbuhkan oleh suatu
kebudayaan tertentu, yang dalam konteks kenasionalan Indonesia, ini disebut
kebudayaan daerah yang mempunyai sejumlah ciri khas yang dibina lewat keajegan
tradisi. Di pihak lain, ia juga
disadur dan dibentuk kembali oleh kebutuhan suatu hamparan kebudayaan yang
lebih luas, yang tidak semata-mata menganut cita rasa tradisi asalnya. Dari situasi ini timbul masalah pertama: teater
tradisi untuk siapa?
Teater tradisi telah
mengalami pergeseran kepemilikan. Kalau
semula ia hanya dirasakan sebagai milik oleh suatu kelompok pendukung
kebudayaan tertentu, kini mereka yang dari daerah lain pun didorong untuk
mempunyai rasa kepemilikan pula atasnya. Secara sah telah dinyatakan bahwa kebudayaan
Indonesia adalah keseluruhan kebudayaan-kebudayaan daerah (ditambah segala yang
tumbuh di negeri ini tetapi di luar konteks kebudayaan-kebudayaan daerah). Maka, maslah kedua dapat pula tampil di sini:
teater
tradisi dari suatu kebudayaan daerah dapat memperoleh pemasukan cita rasa
ataupun konsep-konsep dari kebudayaan daerah lain. Dan suatu pembukaan pintu lebih lebar
memungkinkan pula masuknya gagasan-gagasan dan cita rasa dari Negara-negara
lain. Hal seperti itu sudah sering
terjadi di masa lalu dan pasti masih banyak akan terjadi pula di masa yang akan
datang.
Perubahan-perubahan
terjadi bukan semata-mata disebabkan karena lingkaran pemilikan suatu jenis
teater tradisi menjadi lebih luas, tetapi bisa pula karena manusia-manusia
pendukung kebudayaan daerah itu sendiri telah berubah: karena perubahan cara
hidup, karena pergantian generasi. Dalam
hal ini terjadilah suatu perkembangan internal di dalam teater tradisi yang
bersangkutan, dimana factor penentu perubahan yang paling banyak bicara adalah
kejenuhan dan berpetualan.
Kondisi-kondisi internal ini memperlihatkan perbedaan perimbangan antara
factor kejenuhan dan petualangan di satu pihak, dengan di pihak lain factor kekerasan berada dalam satu tata nilai keindahan
yang mapan dan aman.
Perubahan-perubahan
masyarakat dan budaya telah membawa serta teater tradisi untuk mengalami juga
perubahan-perubahan dalam bentuk maupun konsep.
Perkembangan teknis dan konseptual tidak jarang disertai pula dengan perubahan-perubahan
procedural dan organisatoris. Maka masalah ketiga
yang timbul adalah masalah Sejarah Kesenian, unsure-unsur mana yang cenderung
untuk menetap dan bertahan, dan apakah
dinamik unsur-unsur ini sama pada setiap bentuk teater tradisi. Dalam ulasan ini penulis dengan sengaja tidak
menggunakan intilah “pertunjukan rakyat”, karena kata “rakyat” itu dapat
diartikan dengan berbagai cara. Kata itu
dapat merupakan lawan dari feodal atau istana.
Kalaupun definisinya ditetapkan, toh tidak akan praktis untuk
pembicaraan sekarang, karena dalam kenyataan, suatu bentuk teater atau bentuk
tari dapat berubah dari bersifat rakyat menjadi tidak, atau sebaliknya. Maka istilah “teater tradisi” saja yang
dipakai, dengan batasan yang cukup luas pula, teater yang terkait pada tradisi,
atau yang mempunyai tradisi.
Teater
tradisi untuk siapa?
Jika suatu bentuk
teater tradisi disajikan di luar lingkungan kebudayaan asalnya, maka para
penonton akan cenderung untuk menghargainya sebagai sesuatu yang eksotis: bukan
yang biasa-biasa saja. Sementara itu di
lingkungannya sendiri ia diterima sebagai sesuatu yang tidak aneh. Dari sini terlihat ada dua tuntutan
perkembangan atas teater tradisi itu.
Para penggemar dari luar lingkungannya menginginkan pemeliharaan atas
gayanya yang khas; sedang para penggemar dari dalam lingkungannya sendiri,
disamping yang ingin tetap aman dalam belaian gaya yang telah amat dikenal
secara akrab, ada juga yang selalu menginginkan perkembangan dalam arti
perubahan atau tambahan sesuai dengan “perkembangan zaman”.
Salah satu unsure yang
rupanya banyak dianggap sebagai “perlu penyesuaian dengan perkembangan zaman”
adalah cara pembawaan peran dan bahaa.
Acting teateral bergaya deklamasi dan bahasa Indonesia yang benar
menjadi semacam persyaratan baru yang masuk ke teater tradisi. Kasus seperti ini dijumpai misalnya pada pergelaran samanda (sandiwara mamanda) dari
Kalimantan Timur yang dibawa ke Festival Jakarta. Bahasa yang digunakan para pelakonnya terasa
hamper sepenuhnya “dibersihkan” dari unsure dialek dan gaya ucapan kedaerahan
yang semestinya justru mewarnai teater tradisi daerah tersebut. Kecenderungan “penyesuaian” seperti ini juga
terlihat pada Makyong dari Riau dan Mendu dari Kalimantan Barat. Perlu dikenali selanjutnya, apakah hal seperti
itu disebabkan oleh “pembinaan” oleh orientasi ke seni teater “modern” atau
oleh pengaruh film.
Bentuk-bentuk teater
tradisi dari rumpun Melayu secara potensial terancam oleh bahaya standarisasi
itu, justru karena memiliki persamaan akar dengan bahasa nasional Indonesia
sekarang ini. Bahasa nasional yang baku
memang harus ditegaskan eksistensinya, baik itu memang lafal, kaidah maupun
kosakata. Ia harus dipegang dalam
lingkungan-lingkugan besar seperti kalangan resmi pemerintahan, kalangan
pendidikan dan kalangan ilmuwan. Tetapi
pasar dan teater tradisi perlu diberi otonomi untuk menikmati bahasanya
sendiri, dengan segala krkhasan kosakata, lafal maupun kaidahnya. Tanpa kekhasan itu maka bentuk-bentuk teater
tradisi seperti bangsawan, makyong, mendu, mamanda, demuluk dan sebagainya itu
dapat kehilangan bagian terpenting dari unsure gayanya.
Orang-orang jauh yang
jadi penontonnya memang menghendaki teater tradisi menjaga dan memperkembangkan
gayanya. Tetapi, perlukah dicegah klau
pelakunya sendiri menghendaki “updating” dengan dunia luar yang nasional maupun
internasional? Adapun yang akan jadi
pilihan mereka, atau pilihan masyarakatnya, ataupun pilihan para Pembina dari ibukota, akan menjadi bagian dari
sejarahnya. Namun semua harus menjaga
agar yang dilakukan itu dijiwai oleh minat dan hasrat, serta memenuhi kebutuhan
akan ekspresi dan refleksi.
Perubahan
internal
Teater mempunyai
perbedaan sifat jika dibandingkan dengan tari dan musik. Tari dan music yang sama sekali non verbal
itu dalam konteks tradisi biasanya berfungsi sebagai hiasan dari upacara atau
bagian dari upacara itu sendiri. Gaya
dan intensitas adalah bobot yang disandangnya.
Adapun teater yang mempunyai unsur verbal maupun non verbal itu, di
samping mengandung nilai gaya dan intensitas ekspresi, juga mengandung fungsi
sebagai media refleksi. Sudah tentu segala
tanggapan hidup itu tidak disampaikan seperti khotbah, melainkan ia tersirat
dalam alur, sanggit (rekaan
lakon) dan penggambaran watak.
Teater mempunyai
beberapa unsur teknik seperti: alur
cerita, sastra, dialog, gaya laku, dan tata rupa. Pada teater tradisi unsur-unsur ini mempunyai
pola-pola tertentu. Di samping itu
teater tradisi juga sering mempunyai konvensi-konvensi tertentu mengenai pembabakan
tempat, waktu dan situasi. Perubahan
atau perkembangan bentuk dalam teater tradisi merupakan perubahan pada
unsur-unsur tersebut, yang tidak perlu sama cepat lajunya. Misalnya samanda Kalimantan Timur: dialog dan
gaya laku berubah, tetapi konvensi pembabakan tetap dipegang, misalnya
mengawali lakon dengan nyanyian perkenalan seperti yang disebut baladon
pada teater mamanda Kalimantan Selatan dan berladun pada teater mendu
dari Riau.
Kandungan sastra dari suatu
bentuk teater tradisi ditentukan oleh masih dihayati atau tidaknya sastra
daerah oleh masyarakat. Kekayaan seni
hias bahasa (seperti tamsil, ibarat, peribahasa, wangsalan, parikan, permainan
kata yang mempunyai berbagai arti) apabila dikuasai oleh para pelaku ataupun
dalangnya (kalau ada) sangatlah besar artinya dalam menambah sedapnya
tontonan. Penguasaan bahasa atau logat daerah
ini bisa semakin lama semakin berkurang,
disebabkan oleh desakan penggunaan bahasa Indonesia yang kian meluas. Demikian pula kemampuan seni berbahasa lisan
bisa semakin menyusut, sebagai arus lawan dari majunya komunikasi visual.
Suatu unsur yang lebih
menentukan dalam teater tradisi adalah gaya laku, yaitu bagaimana cara
peran-peran dibawakan. Teater realis
yang begitu dalam pengaruhnya pada dunia film yang telah demikian tersebar
luas, menuntut setiap peran dipertanggungjawabkan atas dasar kemungkinan dalam
realitas. Dengan demikian setiap peran
harus dipandang sebagai sesuatu yang unik yang mempunyai latar belakang
khas. Beda halnya dengan pemeranan dalam
teater tradisi pada umumnya, di mana setiap peran adalah perwujudan dari
watak-watak stereotip tertentu. Dan
setiap watak stereotip itu menuntut kejelasan ungkapan melalui pola gaya laku
tertentu: cara bergeraknya, cara dan nada bicaranya, dan cara dandanannya. Namun keketatan pola gaya laku ini pada
berbagai bentuk teater tradisi tidaklah sama.
Pada bentuk-bentuk teater yang kurang ketat, kostum dan nyanyian bisa mudah
sekali mendapat pengaruh dari film misalnya.
Sedang pada bentuk-bentuk teater yang lebih ketat, keseluruhan gaya laku
itu dapat pula berubah pelan-pelan karena perubahan interpretasi atas suatu
peran. Perubahan interpretasi atas
peran-peran ini lebih-lebih lagi akan terwujud melalui sanggit.
Alur cerita dalam
teater tradisi biasanya dikuasai oleh pola pembabakan tertentu: ada
adegan-adegan pembukaan dan penutupan, ada urutan babak yang telah ditentukan,
ada bagian-bagian penyeling adegan. Pola
pembabakan ini dapat berubah secara internal misalnya disebabkan oleh perubahan
tuntutan mengenai lamanya suatu tontonan dikehendaki. Dengan demikian babak-babak mungkin ada yang
dipersingkat atau dihilangkan. Perubahan
atas pola pembabakan ini bisa juga terjadi karena kejenuhan dari para pihak
penyanyi. Maka mereka pun melakukan
eksekusi. Hal ini sering dilakukan oleh
misalnya Ki Narto Sabdo, seorang dalang wayang kulit Jawa, yang dengan
sengaja dan cukup “pengumuman” menampilkan tokoh-tokoh wayang kulitnya pada
babak-babak yang tidak “pada tempatnya”; Ia pun sering mengubah suasana babak
tertentu sehingga jadi tidak “seperti biasanya”. Perubahan-perubahan dalam pola pembabakan ini
pernah pula dialami oleh ludruk dari Jawa Timur. Dan dalam lingkungan besar dialami pula
sepanjang perkembangan bentuk-bentuk teater tradisi yang serahim, yaitu komidi
bangsawan mendu, dermuluk, dan mamanda. Karena ide tontonan ini tersebar ke berbagai
daerah, maka di tiap tempat baru itu ia
menyesuaikan diri dengan tuntutan selera setempat.
Catatan :
1)
Pekan Teater Tradisional tahun 1977
menampilkan: ketoprak ongkek (Yogya),
ubruk (Jawa Barat), mamanda (Kalimantan Selatan), mendu (Riau) dan topeng
prembom (Bali).
2)
Pada tahun 1980, dalam dua kesempatan
yang berdekatan, yaitu Studi Perbandingan Teater Bertutur tanggal 2 – 3
Nopember dan Festival Seni Pertunjukan Rakyat tanggal 10 – 14 Desember, telah
ditampilkan:
a)
Tujuh bentuk teater tradisi,
yaitu: ketoprak ongkek (Yoya), makyong
(Riau), ludruk besutan (Jawa Timur), dulmuluk (Sumatera Selatan), mendu
(Kalimantan Barat), wayang gong (Kalimantan Selatan), sandiman/sandiwara
mamanda (Kalimantan Timur), serta Cupak-Grantang (Lombok) dan Anggun Nan Tongga
(Minang) yang keduanya disebut dengan istilah sendratari.
b)
Enam bentuk seni bertutur, yaitu:
cepung (Lombok), cekepung (Bali), sinrili (Sulawesi Selatan), dalang jemblung
(Jawa Tengah), templing/kentrung (Jawa Timur) dan warahan (Lampung)
Referensi:
Prof.
Dr. Edi Sedyawati | “Pertunjukan Seni Pertunjukan” | Penerbit: Sinar Harapan
th. 2000
Penulis:
Slamet
Priyadi di Pangarakan - Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar