Jumat, 01 Mei 2015

PUISI-PUISI BULAN MARET 2015 Karya Slamet Priyadi 42

Image Bukit Cibeling (Foto: SP)
Bukit Cibeling, Jawa Barat

"DI SAAT PAGI HARI NAN CERAH"
Karya Slamet Priyadi

Sekelompok burung bangau  itu  berterbangan bersamaan
Tembus  gumpalan  kabut  putih yang selimuti persawahan
Burung-burung kutilang di ranting pohon durian bersaltoan
Senandung  bersiul riang tembangkan kidung  kebahagiaan
Di  pohon  rambutan  burung cabe-cabean saling bercuitan
Sambut  Sang Mentari  pagi yang bersinar putih keperakan
Yang  cahayanya  cerahkan, segarkan, dan sehatkan badan
Hingga sadarkan aku dari  tidur lelap yang berkepanjangan

Kukucakkan mata  tatap ke luar jendela dari lamin panjang
Kupu-kupu terbang  mengitari bunga-bunga dan kembang
Yang banyak  tumbuh subur hiasi halaman rumah belakang
Sementara  dari  liang batang pohon kayu yang telah usang
Ke  luar ular kobra  mangsa seekor iguana bernasib malang
Yang meronta-ronta sebentar lalu nyawanyapun melayang
Ular kobra lari menjalar kembali ke liang tempat bersarang
Sebab  perut  telah  terisi  mangsa yang membuat kenyang

Nun jauh di sana  hamparan sawah yang luas membentang
Di  lereng bukit kaki  Gunung salak yang nampak kerontang
Mengalun kidung alam dinamika con fiesto katak bangkang
Mantra penurun hujan agar air melimpah ruah mengubang
Sang katak bangkang, dan ikan-ikan berenang-renang riang
Tiada waspada sedikit pun bangau-bangau berkaki panjang
Terbang kitari  hampar  sawah berkubang  melayang-layang
Lalu menukik  tajam mangsa  ikan-ikan dan katak bangkang
Yang  sebentar  kemudian nyawa merekapun lenyap hilang

Sesaat  saja  pagi hari nan  cerah  berganti  mendung hitam
Hujan turun begitu lebat tak bisa lagi dihalang dan diredam
Angin  topan  dan badai  mengamuk  cuaca  semakin  kelam
Guntur  menjelegur,  lidah petir  menjulur  mangsa  isi alam
Tanah lonsor, banjir, petaka melanda semuanya bermuram
Di dalam sedih dan nestapa yang tiada tara larut dan karam
Sadarkan  segala  sikap perilaku dumeh, pongah, dan  mam
Munafik, angkuh, angkara murka, tamak dan bersifat kejam

Minggu, 01 Maret 2015 – 17:27
Bumi Pangarakan, Bogor
  


"KEMELUT PEMILU 2014"
Karya: Slamet Priyadi

Di  tahun dua  ribu empat belas  ini
Ada  ajang  besar  pentas demokrasi
Pemilu Legislasi hak rakyat memilih
Para  wakil rakyat dan Presiden RI

Semua kandidat berancang-ancang
Siapkan taktik dan strategi menang
Mereka saling aksi mencari simpati
Agar  menjadi  pemimpin negeri ini

Dalam tahun politik yang menggeliat
Saingan sehat antar masing kandidat
Nampaknya masih jauh dari harapan
Saling cari kesalahan cari kelemahan

Bahkan antara masing para kandidat
Para  pendukung dan para  pengamat
Di media TVdi tonton berjuta rakyat
Mereka  saling  caci-maki menghujat

Berbicaranya gahar, kasar, dan sangar
Adalah kata-kata yang acap kali keluar
Kuat berdebat saling beradu komentar
Kadang benar lebih banyak yang nyasar

Bicaranya pun penuh dengan antrak-intrik
Menggelitik,  mengutak-atik  tak simpatik
Penuh  rasa curiga,  berprasangka tak baik
Yang didapat dari nguping dan bisik-bisik

Yok, para kandidat calon pemimpin rakyat
Para politisi, pendaulat dan para pengamat
Indonesia  akan menjadi negara yang  kuat
Jika kita tetaplah satu dalam bingkai NKRI

Bumi Pangarakan, Bogor
Selasa, 03 Maret 2015 - 21:14 WIB


"KITA MEMANG EGOIS"
Karya Slamet  Priyadi

   Kenapa, kita mesti  selalu  berdalih  mengalih
  Pada  sesuatu  yang sudah jelas  harus  dipilih
  Kebenaran Tuhan  itu  harus kuat digenggam
 Jadi ageman bersikap, bertindak, bergumam

Tetapi  kita manusia  memang  seringlah  lupa
Bahkan  sering kali alpa  karena  keegoan  kita
Bersikap  egoistis, apatis,  cuek,  dablek, kasar
Tiada  mau  mendengar,  merasa paling benar

Yakh, itulah kita, maaf, bukan kamu atau anda
juga bukan kita semua, tapi adalah aku sendiri
di sini dalam hati yang maunya menang sendiri
Egois dalam segala hal, di dalam segala perihal

Bumi Pangarakan, Bogor
Kamis, 05 Maret 2015 – 20:42 wib



"PESAN PEJUANG"
Karya: Slamet Priyadi

Telah aku wariskan Sang Saka Merah Putih pusaka bangsa
Dari medan juang korbankan nyawa perlaya ikhlas dan rela
Telah aku wariskan Sang Rajawali Garuda perkasa perwira
Dari  medan  juang  korbankan  jiwa demi bangsa merdeka

Wahai kaum muda pewaris bangsa, jagalah dan camkanlah
Janganlah sampai Pusaka Bangsa robek, terkoyak berdarah
Pancasila Bhineka Tunggal Ika  jadikan  pemersatu bangsa
Bangsa Indonesia yang harus tetap jaya di bumi Nusantara

Sabtu, 08 Maret 2015 – 00:17 WIB
Bumi Pangarakan, Bogor



"TUYUL BERGAJUL ITU KEMBALI MUNCUL"
Karya Slamet Priyadi

Makhluk gaib si Tuyul bergajul itu kembali muncul
Bertubuh kecil berperut buncit  berkepala gundul
Dari lubang sumur terus melangkah masuk rumah
Matanya membelalak merah seperti orang marah
Di saat petang ba’da azan maghrib berkumandang
Hari Kamis malam Jumat saat hujan gerimis datang

Aku masih tetap tak peduli Tuyul itu menggerayang
Masuki kamar belakang tempat aku rebah selayang
Istriku tiada lihat si Tuyul itu,  dia duduk saja tenang
Saksikan televisi berita DPRD dan Gubernur perang
Argumentasi rasa benar sendiri dengan hati berang
Sungguh satu tontonan yang buruk untuk di tayang

Muak lihat tontonan yang cuma penuh perdebatan
Aku matikan TV ganti putar lagu-lagu religi rohanian
Tembang rohanian sirnakan wujud Tuyul bergajulan
Yang gaib lenyap sirna seketika hilang lari melayuan
Sementara aku dan istriku duduk rehat berlonjoran
Pikir aku serasa stagnan seperti berjalan tak karuan

Dalam keadaan pikir yang kosong muncul kesadaran 
Aku teringat pada uang gaji yang baru saja kuberikan
Pada  sang istri untuk belanja  rumah tangga sebulan
Aku tanya sang istri apa gaji itu masih utuh tersimpan
Saat dihitung ternyata uang gaji berkurang satujutaan
Peristiwa ini mungkin mengada-ada hanyalah karangan
Dan, itu bisa diterima karena tak langsung mengalaminya
Namun,bagi para tetangga se kampung yang pernah sama
Merasakan dan mengalaminya langsung pastilah ia percaya
Tentang uang hilang secara gaib di tarik sang tuyul bergajul

Sabtu, 07 Maret 2015 – 9:30 WIB
Slamet Priyadi di Bumi Pangarakan, Bogor

 

"SEMERAWUT DALAM KEMELUT"
Karya Slamet Priyadi

Awan-awan mendung layang berarak di puncak gunung
Bersayap bulu-bulu hitam kelabu tanda alam berkabung
Derai linang air mata terus saja menetes tak bisa diurung
Sebab orang-orang kecil masih keras menjerit  meraung
Dimangsa buasnya hukum rimba terbelenggu terkurung
Dalam neraka kemelaratan yang terasa semakin kadung

Sementara  hutan-hutan di bukitpun semakin kerontang
Dibalak oleh pemangsa galak ditebang pemangsa garang
Yang tak henti-henti  menyerbu serang malah bersarang
Di balik gerumbul gumuk hutan rimbunnya dedaun uang
Bergelimang kemewahan bersuka ria bersenang-senang
Berenang di kolam air matanya orang-orang yang malang

Semerawut kemelut bursa kepemimpinan diayak-goyang
Mengusut-usut benang kusut kesalahan lampau diterawang
Saling dalih-berdalih kebenaran adalah taktik untuk menang
Mengatur  strategi  tarik-ulur laksana bermain layang-layang
Tiada pikir itu membuat  masyarakat dalam suasana gamang
Tertutupkan selimut politik warna putih hitam suram garang

Dalam semerawutnya kemelut yang masih berekor panjang
Masih adakah harapan munculnya cahaya kemintang terang
Yang bisa sinari gelapnya  nasib rakyat kecil bernasib malang
Yang melangkah lemahsebab dua kakinya tak lagi bertulang
Yang cuma mampu bergerak ngesot ronta melalang melang
Menanti tulung-pitulung dari para pembijak para penopang

Kamis, 19 Februari 2015 – 19:35 WIB
Slamet Priyadi
Di Kp. Pangarakan, Bogor  


 
"DALAM DIRI KITA"
Karya Slamet Priyadi

Dari alam kegaiban,  lewat gelora pria dan wanita
Maka Lahirlah kita  wujud  sukma  jelma  manusia
Yang tercipta dari anasir air, api, tanah, dan udara
Lalu  langlang  kembara sementara di  marcapada

Bersama daging, darah, adi ari-aripun jadi marwah
Jadi segala daya kekuatan rohaniah dan jasmaniah
Nafsu  aluamah,  amarah, supiah, dan  mutmainah
 Mulhimah kita adalah rupa panglima pemberi arah

Dalam diri kita ada jiwa, sifat dan watak dasamuka
Tamak, rakus, serakah penuh nafsu angkara murka
Dalam diri kitapun ada sifat dan watak Kumbakarna
Tak pernah salah,  tak mau kalah,  dan cepat murka

Dalam diri kitapun ada sifat dan watak Sarpakenaka
Selalu mengutamakan birahi libido tiada bisa  dijaga
Dalam diri kita,  juga ada jiwa, sifat  watak Wibisana
Yang penuh kejujuran, kebenaran, kesucian utama

Dan sekali waktu, jiwa dan raga kita adalah milik kita
Dan pada saatnya kelak, jiwa dan raga kita semua
Pasti  menuju ke  sana,  kembali  keharibaan-Nya
T u h a n   Sang Maha Pencipta Sang Maha segala

Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 07 Maret 2015 – 17:13 WIB



"KEDAI KOPI DI KAKI BUKIT PARIGI"
Karya: Slamet Priyadi

Meniti jalan setapak di kaki bukit Parigi
Di saat cahaya Surya sang Mentari pagi
Menelusup di celah - celah daun bambu
Di simpang kelokan jalan bertugu  batu
Nampak  dua  ekor anjing berpadu satu
Saling ungkap  nikmatnya  hasrat nafsu

Merasa terganggu sekali atas kehadiranku
Keduanya  pun menyalak keras ke arahku
Seperti  lakukan  protes lalu berkata kelu,
“Wahai tuan, kami ini bukanlah sepertimu
yang masih memiliki etika dan rasa malu
Jadi, janganlah mengganggu kami di sini
Segera lewati jalan ini, jangan usik kami”

Melewati gundukan semak jalan setapak
Di balik rimbun bambu dan pohon salak
Nampak dua ekor kera jantan dan betina
Sedang  ungkap  libido hasrat senggama
Merasa terusik sekali dengan kehadiranku
Keduanya dengan wajah galak mata terbelalak
Menatap garang ke arahku seakan protes dan berkata,
“Wahai tuan, kami bukan sepertimu yang miliki etika rasa malu
Jadi, lewati saja jalan ini! Dan, Jangan ganggu kenikmatan kami”

Tak terasa waktu berganti,  Sang Mentari pagi semakin meninggi
Aku teruskan melangkah meniti jalan setapak di kaki bukit Parigi
Melewati kebun-kebun buah yang buahnya mulai ranum memerah
Melewati  pematang sawah yang padinya mulai kuning sumringah
Ketika peluh basahi seluruh tubuh, dan rasa lelah mulai mengeluh
Saat jalan merunduk menatap ilalang, dua wanita  menyapa manja
Dengan tingkah menggoda yang sungguh mengundang hasrat jiwa
Kedua wanita itu gandeng tanganku tanpa malu sambil berkata-kata
“Wahai tuan kami tahu, tentu tuan seperti juga tamu-tamu yang lain
Mampir di kedai kami! Di sini tersedia bermacam kopi kehangatan
Kami pastikan akan sesuai dengan selera rasa yang tuan inginkan!”

Aku  henti  berjalan,  rehat  istirahat untuk  kembali segarkan badan
Duduk  santai di kedai pesan secangkir kopi dan setatakan gorengan
Dengan  sikap kemayu  pelayan kedai  itu  buatkan  kopi  pesananku
Sambil  menawarkan  kopi  kehangatan  hasrat  seks  tak malu-malu:
“Tuan, tadi ada tiga orang dari kota, sekarang pun masih di dalam
Biasa tuan, apakah tuan juga berkeinginan sama seperti mereka?”
Ucap  perempuan  pelayan kedai kopi  itu sambil  tertawa cekikikan
Aku diam tak jawab pertanyaan itu, jiwaku jadi rasa makin tertekan
Segera  aku  bayarkan  secangkir kopi dan gorengan yang aku pesan
Sambil menggerundel,“Benar-benar tak punya etika dan rasa malu!”
Dan aku segera cepat berlalu melangkah pergi dari kedai itu

Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 08 Maret 2015 – 03 :46 WIB



"AKANG SAYANG"
Karya: Sita Rose

Akang…
Sudah tiga warsa ini kau tak pernah lagi kasih kabar berita
Dan, di  sini  aku  semakin  resah, semakin gundah  gulana
Sedang  anak-anak  kita pun selalu saja menanyakan akang
Kapan  ayah  akan pulang, mak? Mak, ayah kapan pulang?

Akang…
Sudah tiga setengah warsa kau masih jua tak beri kabar berita
Aku, anak kita  jadi  terombang-ambing dalam ketidakpastian
Dalam kecemasan, dan dalam penantian yang berkepanjangan
Sedang  pertanyaan itu, pun tak pernah mendapatkan jawaban

Akang … 
Sedang apa di sana?Apa negeri yang kau singgahi lebih jelita?
Apa keelokjelitaan itu  telah membelenggumu, sehingga lupa?
Sebab  begitulah warta yang  aku terima sejak kau ada di sana
Jika itu  memang benarlah adanya, aku  akan ikhlas menerima

Akang . . .
Meski hati ini sangat terluka perih terkoyak duka dan kecewa
Aku kan berupaya jalani hidup ini dengan penuh ketawakalan
Bersama  anak-anak  kita berjuang  untuk meraih masa depan
Aku  doakan,  semoga  kau  selalu mendapatkan  kebahagiaan

Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 08 Maret 2015 - 09:04 WIB



"GUNTUR MENJELEGUR  LIDAH PETIR MENJULUR"
Karya: Slamet Priyadi

Gema nan keras gelegar pertala itu usik marcapada
Tegur keras  alam saksikan sikap perilaku manusia
Yang tak lagi berunggah-ungguh kedepankan etika
Hanya  mengumbar nafsu  syahwat,  nafsu angkara

Yang  digugu  dan  ditiru pun lenyapkan rasa malu
Yang digdaya sakti dan kuasa cengkeramkan kuku
Pancanakanyapun membenam semakin mendalam
Menusuk jantung masyarakat kecil bernasib kelam

Molekul-molekul kecil itu bergerak kian melemah
Hanya bisa melangkah gontai, lunglai terasa lelah
Kalah, kalah,  lagi-lagi kalah, dan terus saja kalah
Sebab selalu ditekan, diancam haruslah mengalah

Jegur bunyi guntur, lidah petir menjulur bawa bala
Mangsa  segala  angkara  murka lewat mala petaka
Banjir,  tanah  longsor,  gempa bumi yang melanda
Hancurkan, musnahkan segala yang ada di marcapada

Alam kini telah murka tak mau lagi diperdaya manusia
Tamak, serakah, birahi tiada terkendali, penuh angkara
Yang jauh dari sifat jujur dan adil,  jauh dari sifat utama  
Pemarah tak mau kalah,  seperti sifatnya  Rahwana Raja

Bumi Pangarakan, Bogor
minggu, 08 Maret 2015 - 10:56 WIB


  
"SANG RAJAWALI GARUDA"
Karya: Slamet Priyadi

Engkaulah Sang Rajawali, Garuda Bangsa
Sakti mandraguna, digdaya, gagah perkasa
Terbang nan tinggi layang di angkasa raya
Mengkepakkan sayap menguak jagad raya
Gagah gemanya keras bagai guntur pertala
Gelegarkan Pancasila gaung ke marcapada

Engkaulah  Garuda Bangsa Sang Rajawali
Kurasakan kini tak gagah nan perkasa lagi
Bintangmu  sudah  nyaris tak berlima segi
Bantengmu bagai tak bertanduk tak bertaji
Beringinmu sudah nampak tak rimbun kini
Padi kapasmu pun sudah tiada lagi bersemi
Rantai satu pengikat kian  berselimut karat
Karena menanggung beban yang kian sarat

Wahai kau Sang Rajawali, Garuda Bangsa
Hayo, keluarkan segala daya jaya digdaya
Terbanglah tinggi-tinggi kuak mega-mega
Kepak  sayap  Pancasila seluas jagad raya
Agar dunia tahu bahwa kita masih perkasa
Ya, kita  masihlah tetap sakti mandraguna

Bumi Pangarakan, Bogor
Selasa, 10 Maret 2015 - 20:04 WIB



"GELORA RASA ITU TEKAD BAJA"
Karya Slamet Priyadi

Saat kau hadir  mengukir  jiwa kisruh
Itu nyalakan kenang lama yang  luruh
Yang tak pernah lagi pernah berlabuh
Layarpun bagai kembang tak bersauh

Di dalam kasih yang terus bertumbuh
Serasa aku ini tak lagi bisa bersimpuh
Sebab  dirimu pun telah semakin jauh
Sementara aku pun tak mau mengeluh

Meski  semua itu ‘lah membuat luruh
Dalam kebisuan yang semakin pupuh
Aku tak mau segala pikir ini merapuh
Dan, hidup ini akan tetap aku tempuh

Gelora adalah tekad baja yang kukuh
Rasa  adalah cita yang harus dikayuh
Gelora rasa di jiwa tak bolehlah luluh
Tetaplah dijaga  dan teruslah tumbuh

Bumi Pangarakan, Bogor
Selasa, 10 Maret 2015 - 22:10 WIB



"EMPATI ITU SENASIB SEPENANGGUNGAN"
Karya Slamet Priyadi

Kemampuan rasa kita untuk memposisikan diri
Pada masalah masalah yang orang lain hadapi
Adalah rasa empati yang kembara di lubuk hati
Naluri jiwa yang tersembul dalam sikap terpuji

Dalam kemampuan diri untuk mau memahami
Untuk mau  mendengarkan  dan mau mengerti
Hanyut  pada  masalah seakan kita sama alami
Terlebih lagi maulah kita dengar keluhan jiwani

Maka di sana tercipta  bangunan  kepercayaan
Maka  akan terciptalah bangunan keterbukaan
Untuk kerja sama dalam  mengatasi persoalan
Sirnakan perihnya radang tuk ringankan beban

Empati  adalah  ekspresi  curahan rasa simpati
Penuh dengan laku ketulusan dan ikhlasan hati
Endapkan rasa jiwa egois tumbuhkan toleransi
Sama dalam satu rasa senasib sepenanggunan
Yang melekat kuat dalam hati, jiwa, dan pikiran

Bumi Pangarakan, Bogor
senin, 16 Maret 2015 – 13:16 WIB


 
"KAMU KEBLINGER AKU KELENGER"
Karya Slamet Priyadi

Kepalaku  jadi terasa pusing kayak mutar-muter
Pusing  tujuh keliling,  mual  terasa mau kelenger
Ke sana salah, kemari salah tak ada yang bener
Pikirkan  kehidupan dunia yang makin keblinger
Padahal  negara  ini dipimpin orang-orang pinter
Yang  ilmunya  menjulang  tinggi  bergema santer

Pemimpin,  pejabat yang  katanya  pinter-pinter
Perilakunya malah  mnyebabkan  muntah puger
Saling  tohok,  saling  gontok  rasa paling bener
Rebut posisi,  rebut  kursi cuma itu yang diincer
Tak  pikirkan rakyat yang air liurnya terus ngiler
Karena  segala kebutuhannya tak bisa  dibarter

Harga-harga  barang  kebutuhan  naik gancang
Sandang,  pangan,  dan papan  jadi berguncang
Nasib  rakyat kecilpun semakin jatuh terlentang
Dibelenggu  kemiskinan yang terus  mengekang
Bahkan  tak bisa lagi kencangkan ikat pinggang
Sebab tak ada yang bisa buat perutnya kenyang

Sementara  pemimpin, pejabat sibuk  berdebat
Para  pendukung,  para pengusung beradu kuat
Bicara kasar dan vulgar  lidahnya saling bersilat
Mencaricari  kebenaran  sendiri meskipun galat
Sebelum menang didapat, terus saja menggugat
Sungguh itu satu contoh buruk bagi masyarakat

Sabtu, 28 Maret 2015 – 08:39 WIB
Kp. Pangarakan, Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar