Penulis:
Slamet Priyadi│Denmas Priyadi Blog│Selasa,12 Febuari 2013│21:10 WIB
Dewa Ruci |
LAKON Dewa Ruci dalam
kisah pewayangan merupakan salah satu cerita karangan para pujangga Islam yang
lebih dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Dalam buku, De
Heiligen van Java, halaman 150 yang ditulis oleh Dr. D.A. Rinkes, dinyatakan
bahwa, “Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang baru, dan menyelenggarakan
pertunjukan-pertunjukan wayang dengan upah baginya sebagai dalang berupa Kalimat Syahadat.”
Berkait dengan hal
tersebut di atas, Prof. Adnan dalam kata sambutannya pada acara penyerahan
rumah-rumah bagi para dosen IAIN Demangan, Yogyakarta pada tanggal 14 Juli 1962
menyatakan :
“Masyarakat
kita bangsa Indonesia (Jawa) masih gemar sekali kesenian wayang, mulai zaman
dahulu hingga sekarang, baik di desa maupun dikota. Oleh karena itu Wali Sanga
memperhatikan hal tersebut untuk keperluan memasukkan da’wah Islamiyah”.
Dalam lakon Dewa
Ruci yang religius itu dikisahkan, upaya dan tekad keras Bima atau
Arya
Sena yang ingin mendapatkan air suci kehidupan, “Tirta Perwita Sari.” Berbagai macam percobaan dan tantangan serta
godaan yang sangat berat dihadapi Bima, akan tetapi Bima pada akhirnya mampu
mengatasinya dan Bima berhasil menemukan dan mendapatkan air suci Tirta Perwita Sari yang berujud Dewa
Ruci yang bukan lain adalah dirinya sendiri.
Lakon Dewa Ruci mengandung makna filsafat tentang tasauf Islam yang
sangat mendalam oleh karena menggambarkan seorang kesatriya dengan kemauan
spiritualitas yang keras untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya agar bisa
membawa manusia kepada kebahagiaan yang kekal dan abadi di Syurga.
Siapakah Dewa Ruci
sebenarnya? Dewa Ruci berarti Dewa yang
halus dan lembut, adalah dewa dari Bima atau Arya Sena yang merupakan
perwujudan dari pribadinya sendiri yang sesungguhnya. Dikisahkan ketika Bima
berguru kepada guru Dorna tentang ilmu kemanusian dan belajar tentang
kesempurnaan hidup sejati ketika bertemu dengan Dewa Ruci. Ia diperintahkan
agar masuk ke raganya, akan tetapi Bima berkata:
“Apakah cukup jika aku
masuk ke dalam raga kamu yang begitu kecil?”
“Ha ha ha… jangankan
hanya sebesar badanmu, dunia dan segala macam isinya ini dapat masuk ke dalam
ragaku!” demikian jawab Dewa Ruci sambil tertawa
terbahak-bahak. Ini sebagai gambaran atau symbol bahwa kejiwaan manusia lebih
luas dari dunia seisinya.
Dalam bentuk wujudnya
Dewa Ruci digambarkan bermata bulat, hidung dempak, berambut gimbal terkembang,
berkuku “Panco Noko”, berkain kotak-kotak segi empat, dan bersepatu ciri
seorang dewa. Bentuk tubuh dan raut muka sama persis dengan Bima hanya lebih
kecil.
Sudah kita ketahui
bahwa cerita wayang tentang Dewa Ruci adalah karangan pujangga Islam penyebar
agama Islam di Jawa era pemerintahan kerajaan Islam Demak, oleh karena itu
analisa cerita wayang Dewa Ruci berkait erat dengan ajaran Islam. Analisa berikut adalah saya kutip dari buku
“Unsur Islam Dalam Pewayangan” karangan Drs. H. Effendi Zarkasi dari pendapat
Ki Siswo harsoyo dalam buku “Guna Cara Agama.”
Berikut adalah kutipannya:
1. Di dalam cerita Dewa Ruci, Bima atau
Arya Sena berguru kepada Guru Dorna yaitu orang yang dianggap bisa memberi
petunjuk yang benar, berilmu tinggi
secara spiritual. Memiliki ilmu tinggi
baik keduniawian maupun kerokhanianya, orang yang alim.
Analisa :
Bagi orang yang ingin
mendalami agama (arti tauhid), dia harus berguru kepada orang yang dianggap alim (berilmu dan berakhlak baik)
minta petunjuk jalan (thariq). Jelasnya meminta wejangan tentang ilmu
thariqat. Meskipun seorang guru
terkadang ada juga yang menyesatkan, akan tetapi karena Bima berpendapat kuat
bahwa guru adalah sosok yang jujur, berilmu, beriman dan berakhlak baik, maka
apa yang dikatakan gurunya selalu dipatuhinya, sebagaimana kata ulama yang
berbunyi demikian:
“Tangan (kekuasaan)
Allah itu mengendalikan mulut cendikiawan, tidak akan dia mengucap, kecuali
hanya kebenaran dari Allah”. (Al
Ghazali, Ihyaa ‘Ulumuddin, Jilid III
halaman 26.)
2. Setelah bertemu dengan guru Dorna, Bima
mengutarakan keinginannya untuk mencari Tirta
Perwita Sari, air suci untuk kesucian hidup manusia. Oleh gurunya Bima disarankan agar membongkar
gunung Reksamuka.
Analisa :
Orang yang akan berguru
ilmu thariqat tidak akan bisa diterima sebelum terlebih dahulu melepaskan
segala keinginan dan nafsu keduniawian dari dirinya, hatinya harus dibersihkan
terlebih dahulu. Ini memang sesuatu yang sangat berat untuk dijalani seperti
beratnya membongkar gunung. Memang untuk
sampai ke ilmu thariqat itu harus melalui jalan terjal, berliku-liku,
bermacam-macam godaan dan tantangan yang penuh dengan kesukaran-kesukaran.(Reksamuka
= rumeksa ing gelar, benteng hidup keduniawian). Pekerjaan ini memang berat, sebab dia
harus menjauhi keduniawian yang menjadi
hiasan manusia. Sebagaimana Firman Tuhan
:
“Telah dihiasi manusia
dengan kesukaan-kesukaan kepada barang yang diingini, yaitu wanita-wanita dan
anak-anak, (perhiasan) emas dan perak yang bertumpuk-tumpuk, kuda (kendaraan)
yang bagus, binatang ternak, sawah lading, yang demikian itu perhiasan di
dunia, tetapi di sisi Allah ada tempat kembali yang baik”. (Al-Qur’an, S. Ali Imran: 14)
3.
Bima mematuhi petunjuk gurunya,
lalu pergi untuk membongkar gunung Reksamuka.
Analisa :
Setelah orang yang
berguru telah diberi petunjuk, harus taat dan patuh untuk menjalani dan
mengerjakannya dengan penuh keikhlasan betapapun berat dan sukar, meskipun
harus meninggalkan keduniaan yang dicintainya.
4. Setibanya di gunung Reksamuka Bima
terus mengobrak-abrik, menghancurkan segala makhluk jahat yang ada di gununug
tersebut. Terjadilah pertempuran antara
Bima Arya Sena dengan dua makhluk raksasa penghuni gunung Reksamuka yaitu, Rukmuka
dan Rukmakala.
Analisa :
Orang yang sedang berusaha
mensucikan diri harus mampu memerangi dan mengalahkan segala macam godaan
keduniaan. Raksasa Rukmuka merupakan
gambaran pancaindra yang apabila tidak berhati-hati selalu saja membawa manusia
kepada kesesatan. Sedangkan Raksasa
Rukmakala adalah gambaran akal budi yang juga sering menyesarkan manusia. Dia harus mampu mengalahkan godaan hawa nafsu
jahat agar dapat mencapai kebahagiaan.
Firman Tuhan mengatakan :
“Adapun orang yang
takut akan kebesaran Tuhannya dan orang yang dapat mencegah hawa nafsunya,
Syorgalah tempatnya”. (Al-Qur’an, S. An-Naziaat: 40-41)
5.
Dalam pertempuran itu Bima Sena
dapat menumpas kedua raksasa Rukmuka dan Rukmakala.
Analisa :
Bahwa bagi orang yang
telah mampu menundukkan dan mengendalikan hawa nafsunya maka akan selamatlah
dia, sebagaimana Firman Tuhan :
“Dan Allah selamatkan
mereka yang berbakti dengan sebab terluput mereka (yakni tidak disentuh oleh
kejelekan), dan tidaklah mereka akan duka cita”. (Al-Qur’an, S. Azzumar: 61)
Referensi :
Unsur
Islam Dalam Pewayangan, Drs. H. Effendi Zarkasi
Penulis:
Slamet
Priyadi di Pangarakan-Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar