Jalan Setapak |
“SUMELANGKU GALAU LARA HATIKU”
Karya: Slamet Priyadi
Tembang asmarandanaku kuak sepi di malam nan
sunyi
Lirih merintih,
pedih perih, rasa sumelang larakan hati
Suara unggas
malam, celepuk hitam menguak rasa sepi
Di bawah batu dalam semak perdu, di sisi tepian
perigi
Katak-katak
bangkong terus berkukuk kong, bernyanyi
Kidung mantra aji
turunkan hujan sirambasahkan bumi
Maka di malam itu,
hujan pun turun dengan derasnya
Sederas air mataku
yang mengalir di pipi rasa duka lara
Wujud rasa sumelang
galau di kalbu yang tak mau sirna
Yang masih saja
mengoyak-ngoyak, mengiris relung jiwa
Yang hingga
kini, masih saja terasa menggeliat di
garba
Sembulkan rasa merindu
yang menggebu-gebu di dada
Di atas tanah basah
bersemak di kebun belakang rumah
Serangga malam yang
biasa moco tembang kidung indah
Diam sepi tak mau
bernyanyi, ikut bersedih dan gundah
Sang kelelawar,
codot hitam layang sebat seperti marah
Mangsa laron-laron
dan makan habis buah jambu merah
Bunyi suara
orong-orong pun terdengar makin melemah
Dalam rasa
sumelang, lara, nestapa, dan gundah gulana
Aku pun langkahkan
kaki berjalan di malam gelap gulita
Titi telusuri jalan
setapak, berkelak-kelok, berpaya-paya
Menuju pesisir
Pantai Selatan ‘tuk mencari pelipur lara
Dan, hembus angin malam
terasa sejuk dingin di telinga
Sirnakan rasa letih,
raibkan rasa samsara, duka nestapa
Di saat jelang pagi
tiba, sampailah aku di pantai pesisir
Semak-semak bakau, guyat-gayut
diterpa angin semilir
Lirih berdesir menerpa
wajahku, air mata pun mengalir
Ingatkan aku
kenangan cinta yang masih indah terukir
Hiasi relung jiwaku
yang aku rasakan tak akan berakhir
Karena tujuan dan
cita-cita masih menngeliat berdesir
Meski segalanya
serasa panas laksana air yang mendidih
Meski hati ini
lirih merintih terasa semakin pedih, perih
Aku akan tetap
berupaya keras, berjuang dengan gigih
Sebab kehendak dan
cita-cita, memang haruslah diraih
Dengan semangat
juang yang tinggi, penuh ketabahan
Penuh kesabaran dan
penuh pula dengan ketawakalan
Bumi Pangarakan, Bogor
Selasa, 07:54 - WIB
Tokek Ingarkan Aku sholat lima waktu |
“TOKEK ITU INGATKAN AKU
SHOLAT LIMA WAKTU”
Karya : Ki Slamet 42
Ada
seekor tokek di atap rumahku yang selalu saja berbunyi
Saat
jelang waktu Isya, Subuh, Lohor, Maghrib, yang diawali
Dengan
bunyi suara seperti orang sedang
tertawa, dua kali
Lalu
berbunyi, tokek, tokek,
tokek, tokek, tokek, lima kali
Seperti
meingatkanku, untuk lakukan kewajiban yang hakiki
Tokek
itu memiliki tubuh seperti tokek-tokek yang lainnya
Berwana
putih krem dihiasi bentuk tutul cokelat gula Jawa
Sembunyi di balik atap muncul merayap saat akan
bersuara
Mengigatkan
aku dan semua orang yang ada dalam keluarga
Agar
tiadalah lupa sholat lima waktu Rukun Islam yang lima
Saat
aku buka puasa minum seteguk kopi dan makan kurma
Aku
lihat tokek itu kembungkan perut, mulutnya menganga
Tokek
itu berbunyi lagi, keras
dan lantang sekali suaranya
Hingga
terasa getarkan dada, bulu romaku
bergidik jadinya
Kedua
matanya mendelik ke arahku, seperti bicara berkata:
Jika
tuan tidak melakukan sholat, puasa tuan percuma saja
Tak
akan dapat pahala karena sholat itu adalah yang utama
Kewajiban
setiap manusia kepada Sang
Khaliknya di dunia
Yang
tak bisa ditinggalkan ke mana pergi dimanapun berada
Meski
dalam keadaan apa pun, sehat, sakit, tua atau muda
Bumi Pngarakan, Bogor
Minggu, 05 Juli 2015 – 16:43 - WIB
Ki Slamet 42 |
“PERILAKU ITU AKAN BERUBAH DI SETIAP WAKTU”
Karya : Ki Slamet 42
Aku
terjaga dari tidur lelap di saat sinar sang Surya pagi itu
Menembus
jendela kaca kamar tidurku yang berdinding biru
Cahayanya
hangat sengat terpa raut wajah keriput nan layu
Bagai
kusen jendela yang mulai keropos dimakan rayap kayu
Gambaran
wajah yang simpan banyak kisah laku di masa lalu
Tentang
iman dan taqwa yang kini berubah dirampas waktu
Laku
salehku secara vertikal horisontal telah jauh melompat
Mencelat
entahlah ke mana tanpa bisa kucekal dan kucegat
Tak
pernah lagi sholat, jika dinasehat
selalu gigih mendebat
Masuk
ke lubang berlumpur noda bergumul dengan maksiat
Bersikap
angkuh pada sesama dan suka sekali berbuat jahat
Palingkan
muka, busungkan dada di saat berjumpa
sahabat
Tak
mau kalah main perintah lakukan korupsi saat menjabat
Merasa
palinglah kuat tiap ada kesempatan selalu mengerat
Bermuka
merah, mulut suka berserapah matanya menjelalat
Pelotot
sana pelotot sini berkacak pinggang macam pegulat
Mencengkeram
membanting lawan hingga sampailah sekarat
Tak
disadari bahwa yang dilakukannya itu jahat akan kualat
Batin dan hati kecilku sebenarnya inginkan
seperti dahulu
Saat
kecil, lantunkan azan, bersama teman sholat di surau
Mencari
kayu bakar, mengisi kolam, mengaji di rumah guru
Kendati
salah membaca dipukul rotan kadang kayu bambu
Aku
tetap jalani dengan senang hati, karena
aku tahu itu
Semua
semata-mata hanya karena ‘tuk bekal rohani jiwaku
Sabtu, 04 Juli 2015 – 12:50 WIB
Ki Slamet 42 di Bumi Pangaran, Bogor
Syeh Siti Jenar |
“AJARANMU ITU SESAT DAN
KELIRU”
Karya : Ki Slamet 42
Mengapa
kau merasa pandanganmu benar Siti Jenar?
Bahwa kehidupan manusia di alam dunia marcapada
Sesungguhnya
adalah hidup berada di alam kematian
Yang
terdiri atas kehidupan di syurga dan di neraka
Sebagaimana
dasar acuan pikirmu, dalil Samarkandi:
“Amal mayit pikruhi fayatiju kabilihu” yang berarti,
Sesungguhnya
orang mati, menemukan jiwa raganya
Dan, akan memperoleh pahala
syurga serta neraka
Dalam
bentuk rasa suka bahagia, dan rasa duka lara
Yang
dijalaninya di alam kematian, kehidupan dunia
Dalam
pandanganmu hidup yang masih ada akhirnya
Seperti
hidup di alam marcapada ini, sesungguhnya
Bukan
kehidupan melainkan kematian, oleh karena
Setiap
yang hidup berakhir dengan mati adalah fana
Hidup
itu abadi, ia selalu ada dan tak ada akhirnya
Hingga
ke empat muridmu yang pandai berprabawa
Ki
Bisono Ki Danabaya Ki Canthula, Ki Pringgabaya
Yang
cerdas, pintar, dan pandai itu berpikiran sama
Bahwa,
dunia ini adalah alam kematian
yang hanya
Banyak
berisi keburukan, kesialan, nestapa, samsara
Menurut
pandangan pikirmu dalam alam dunia fana
Yang
adalah alam kematian, manusia dipenuhi dosa
Siang
dan malam bergumul dengan panas api neraka
Tidur
berselimutkan rasa sehat dan sakit perih luka
Siang
bergumul dengan rasa lelah, lapar dan dahaga
Lain
halnya apabila ‘lah bebas lepas dari alam dunia
Dari
alam kematian, manusia akan hidup
sempurna
Menuju
ke alam kelanggengan hidup kekal dan baqa
Yang
tak ada pagi, siang, sore, atau malam
hari tiba
Kehidupan
yang sebenarnya tidak ada awal akhirnya
Akibat
pengaruh ajaran sesatmu bersama muridmu
Banyak yang mengulah ngelmu dengan berperilaku
Berbuat
onar, bermabuk-mabukan, membunuh keji
Berbuat
teror di sana sini bahkan sampai bunuh diri
Yang
dipengaruh ajaran religi sesat agar cepat
mati
Untuk
segera menuju ke alam kehidupan yang sejati
Hidup
sebenar-benarnya hidup di alam lestari abadi
Yang
tak lagi mengenal duka nestapa, lara samsara
Yang
dipenuhi gelimang nikmatnya rasa
swargaloka
Menyatu
di dalam Zat Rab Maha Kekal Maha Baqa
Jumat, 03 Juli 2015 – 12:08 WIB
Ki Slamet 42 di Kp. Pangarakan, Bogor
Geliat Cahaya Sang Surya |
“GELIAT CAHAYA SANG SURYA“
Karya :
Ki Slamet 42
Cahaya
Surya pagi itu, berwarna putih keperakan
Sinarnya
memancar menyelimuti bumi Pangarakan
Burung emprit mencicit di atas ranting dan dahan
Melantunkan tembang asri alam penuh keindahan
Burung emprit mencicit di atas ranting dan dahan
Melantunkan tembang asri alam penuh keindahan
Cahaya
Surya itu panaskan bumi saat tengah hari
Begitu
menyengat, tubuh ini laksana terbakar api
Persawahan
kering, burung-burung terbang pergi
Sungai
Sadane pun keringlah tiada ada berair lagi
Cahaya
Surya itu pun mulai meredup di sore hari
Sinarnya
tidak lagi menyengat seperti di siang hari
Sedikit
demi sedikit, air Sadane pun mengalir
lagi
Suburkan
persawahan tumbuhan alam pun berseri
Cahaya
Surya itu, mulai terbenam di jelang petang
Sinarnya
berwarna merah nampak terkesan berang
Melihat
orang-orang di jalan yang masih lalu-lalang
Seperti
tak dengar azan panggilan tuk sembahyang
Cahaya
Surya itu, tiada nampak lagi di saat malam
Tenggelam
di balik gunung Gede yang menghitam
Seperti
raksasa Rukmuka, Rukmakala muka hitam
Sang
pemangsa, penghasut manusia ke alam kelam
Bumi Pangarakan, Bogor
Kamis, 02 Juli 2015 – 09:25 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar